Ahad 13 Nov 2016 11:23 WIB

Denny JA: Ahok Tersangka, tidak, Tersangka, tidak?

Pimpinan advokat tim pemenangan Ahok, Sirra Prayuna (tengah-bawah) memberikan keterangan pers usai pemeriksaan Ahok di Mabes Polri, Senin (7/11).
Foto: dok. Republika
Denny JA

VARIABEL KEDUA:  political will pihak yang berkuasa. Dalam norma, hukum tak boleh dipengaruhi oleh kepentingan pihak penguasa. Namun kenyataan bisa berbeda. Di dunia yang Rule of Law nya belum matang, justru acapkali suara penguasa  lebih menentukan.

Untuk itu pula kita kenal istilah hukum yang "tajam ke bawah namun tumpul ke atas." Atau istilah "play favoritism," orang tertentu diistimewakan dan dilindungi.

Inilah yang kita beredar luas di sosial media. Kedekatan Kapolri Tito dengan Ahok disebarkan. Apalagi Kapolri pernah menjelaskan kepada publik yang terkesan membela Ahok.

Aneka berita online tanggal 5 november 2016 misalnya mengutip pernyataan Kapolri: "Bukan maksud membela, Ahok tidak bermaksud menista agama," seperti  yang dimuat di m.liputan6.com.

Seketika media sosial media dipenuhi debat soal mengapa pula Kapolri memberi opini. Seharusnya ia netral saja dan biarkan opini itu diberikan oleh pihak pembela Ahok nanti.

Kedekatan Jokowi dengan Ahok dianalisa pula. Aneka kasus korupsi yang menimpa Ahok di KPK tak kunjung mampu membuat Ahok tersangka. Beredar pula isu mengenai penyebabnya karena intervensi Jokowi. Tak heran demo 4 November tempo lalu diarahkan kepada Jokowi yang dianggap menjadi bapak pelindung Ahok.

Berbeda dengan opini itu, saat ini saya meyakini Jokowi dan Kapolri sepenuhnya tunduk pada supremasi hukum. Gelombang protes kini terlalu besar untuk membuat mereka tidak netral. Jokowi dan Kapolri sepenuhnya sadar bahkan Presiden Suharto yang jauh lebih kuat pun bisa tumbang jika rakyat merasa ada ketidak adilan yang dilindungi penguasa.

Ini hukum besi dewi keadilan. Penguasa yang rasional pasti tahu itu.

Dengan asumsi baik, saya menganggap variabel kedua: political will penguasa setelah gelombang demo 4 november sepenuhnya netral. Penguasa, termasuk Jokowi dan Kapolri,  tidak memihak atau melawan Ahok tapi menyerahkan kepada proses hukum. Ini sikap yang kita puji.

VARIABEL KETIGA: pandangan ulama dan ahli agama. Karena kasus ini soal penistaan agama, maka para ulama dan ahli agama yang paling mengerti. Dalam dunia puisi ada pameo: "Yang bukan penyair jangan ambil bagian." Hal yang sama bisa dianalogkan: "Yang tak mengerti agama secara mendalam, jangan ambil bagian."

Tanggal 9 November 2016, media online dipenuhi berita mengenai Tausiah kebangsaan. Sebanyak 99 perwakilan ulama dan aneka organisasi Islam besar menyatakan pendapat.

Antara lain berbunyi: Memperkuat Pendapat Keagamaan Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia tanggal 11 Oktober 2016 tentang penistaan agama.

 Juga mendukung pernyataan sikap PBNU dan PP Muhammadiyah yang merupakan pendapat dan sikap sesuai ajaran Islam berdasarkan Alquran dan Alhadits.

Pendapat keagamaan tersebut dikeluarkan sebagai kewajiban para ulama dalam menjaga agama dan mendorong kehidupan duniawi yang tertib, harmonis, penuh maslahat.

Menyesalkan ucapan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama di Pulau Seribu.

Ucapan tersebut jelas dirasakan Umat Islam sebagai penghinaan terhadap Agama Islam, Kitab Suci Al Qur'an, dan ulama, karena memasuki wilayah keyakinan pemeluk agama lain.

Pimpinan MUI juga berulang-ulang menegaskan sikapnya. Pesannya jelas bahwa Ahok dianggap sudah melewati batasnya, memberi komentar yang pejoratif atas agama orang lain. Ini bukan fatwa, tapi lebih tinggi lagi, pendapat keagamaan satu satunya Mejelis Ulama di Indonesia.

Memang ada tafsir alternatif dari aneka intelektual dan ulama soal benar tidaknya Ahok menista agama. Buya Syafii Ma'arif termasuk yang tak setuju Ahok dianggap menista  agama.

Namun induk organisasi Buya Syafi'i Ma'arif, PP Muhammadiyah, dan teman sesama senior di Muhammaidyah, seperti Amien Rais serta Din Syamsudin, ada di seberang sana dan bergabung di belakang sikap resmi MUI.

Yang menyatakan Ahok menista agama jauh, jauh, jauh lebih banyak dan berpengaruh. Untuk variabel domain ahli agama, lebih berat kemungkinan Ahok tersangka.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement