REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif lembaga advokasi SNH Advocacy Center, Sylviani Abdul Hamid, menduga ada intervensi dari penguasa untuk membebaskan jerat hukum terhadap Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Ini terkait dugaan penistaan agama di Kepulauan Seribu.
Menurutnya, penguasa sedang mencoba mengarahkan agar status Ahok tidak meningkat menjadi tersangka. Padahal, berdasarkan pengalamannya sebagai advokat, polisi hanya membutuhkan bukti permulaan. “Ketika peristiwa betul terjadi dan disokong dengan bukti permulaan, seharusnya polisi sudah dapat petunjuk untuk meningkatkan status seseorang sebagai tersangka,” kata Sylvi, Selasa (8/11).
Menurut Sylvi, bukti permulaan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 adalah dua alat bukti sebagaimana Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). “Bukti saksi dan surat sudah ada, ditambah lagi dengan keterangan ahli, itu sudah cukup,” jelas dia.
Hadirnya anggota DPR pada saat pemeriksaan Ahok di Bareskrim Mabes Polri pada Senin(7/11) lalu, semakin meyakinkan Sylvi adanya intervensi pihak berkepentingan atas kasus Ahok ini. Sebagaimana diketahui, Ruhut Sitompul dari Fraksi Demokrat serta tiga orang Fraksi PDIP yakni Junimart Girsang, Trimedya Panjaitan dan Charles Honoris hadir saat Ahok diperiksa.
Lebih lanjut Sylvi menjelaskan, bahwa keempat anggota DPR tersebut merupakan anggota Komisi III di mana salah satu mitranya adalah kepolisian. “Patut dicurigai kehadiran mereka saat pemeriksaan Ahok,” ujarnya.
Sylvi mengatakan, berdasarkan Hukum Acara sebagaimana Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang berhak mendampingi adalah orang yang diberikan surat kuasa dari terperiksa.