REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jajaran Kepolisian diminta tidak memunculkan kegaduhan baru, dengan cara menangkapi aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) usai demo 4 November. Terlebih, cara-cara penangkapan yang dilakukan aparat lebih mengedepankan arogansi kekuasaan.
Indonesia Police watch (IPW) mengingatkan, aktivis HMI bersama para ustaz, habib, ulama, dan ratusan ribu umat Islam lain melakukan demo karena Polri dinilai lamban memproses kasus Basuki Tjahaja Purnama. "Kami heran, ketika aktivis mahasiswa berdemo dan terjadi benturan, kenapa mereka yang cenderung dikriminalisasi dan ditangkap," kata Ketua Presidium Indonesia Police Watch, Neta S Pane lewat rilis yang diterima Republika.co.id, Selasa (8/11).
Sementara, Basuki Tjahaja Purnama yang merupakan sumber masalah karena diduga menistakan agama, malah cenderung dipolemikkan dan Kepolisian tidak main tangkap. Padahal, IPW merasa Polri semula sudah menjalankan tugas secara profesional, proporsional, dan elegan, terutama untuk penanganan kasus demo 4 November.
Tapi, usai demo 4 November polisi dianggap justru mempertontonkan arogansi, main tangkap dan jemput paksa. IPW menilai, Polri cenderung menggunakan cara-cara Orde Baru dalam menghadapi mahasiswa, yang seharusnya Polri sadar peran aktivis dan mahasiswa menumbangkan Odre Baru hingga nasib Polri bisa seperti sekarang.
Neta mengatakan, jika Polri benar-benar bekerja profesional tentu tidak ada diskriminasi seperti dalam kasus Basuki Tjahaja Purnama. Polri harus bekerja secepat menangkapi aktivis HMI, serta mengusut rekaman video pejabat Polri memprovokasi massa untuk menyerang aktivis HMI.
"Tapi kenapa video ini tidak diusut dan malah aktivis HMI yang dikriminalisasi," katanya.
IPW berharap, Polri tidak mengedepankan arogansi, sehingga tidak menimbulkan kegaduhan baru dan menimbulkan tudingan tidak independen dan cenderung mengalihkan perhatian publik. Dampaknya, bisa muncul masalah baru, yaitu mahasiswa dan aktivis melakukan demo mengecam Polri yang bisa menimbulkan benturan dan merusak citra Polri.