Senin 07 Nov 2016 11:25 WIB

Pemimpin Pengecut

Red: M Akbar
 Helikopter melintas saat aksi demonstrasi didepan istana negara, Jakarta, Jumat (4/11).
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Helikopter melintas saat aksi demonstrasi didepan istana negara, Jakarta, Jumat (4/11).

REPUBLIKA.CO.ID: Oleh: Khairil Miswar (Mahasiswa Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh)

 

Idealnya, seorang pemimpin itu dicintai oleh rakyatnya, dan ia pun mencintai rakyatnya. Kondisi ini hanya akan terjadi jika hubungan keduanya berada dalam harmoni. Dan harmoni itu sendiri baru tercapai jika pemimpin itu mampu mengayomi, melindungi dan berpihak kepada kepentingan rakyat. Adapun rakyat menunjukkan sikap taatnya kepada si pemimpin. Jika keseimbangan ini mampu dibangun, maka keharmonisan itu akan hadir dengan sendirinya.

Di sisi lain, seorang pemimpin juga identik dengan keberanian, rasa percaya diri dan kharisma. Tentunya akan sangat aneh jika ada pemimpin yang loyo dan bersikap pengecut. Pemimpin serupa ini dapat dipastikan tidak akan mampu mengurus rakyatnya.

Kita tentu pernah mendengar bahwa negara kambing yang dipimpin oleh singa akan kuat, sebaliknya negara singa yang dipimpin oleh kambing akan lemah. Pameo ini mengajarkan kita akan pentingnya sebuah keberanian bagi seorang pemimpin.

Namun demikian, kita tentunya harus mampu membedakan antara keberanian dengan gila. Seseorang disebut berani ketika seseorang itu mampu bersikap dan bertindak dengan perangkat dan kekuatan yang dimilikinya.

Adapun seseorang yang nekad melakukan sesuatu tanpa didukung oleh fasilitas dan kekuatan yang memadai, maka orang tersebut bukan berani, tapi gila. Sebagai ilustrasi, seseorang disebut berani apabila dia membunuh harimau menggunakan pedang atau senapan. Adapun orang yang nekad membunuh harimau dengan tangan kosong, maka dapat dipastikan bahwa orang tersebut gila.

Hamka, dalam bukunya Tasauf Modern, menulis: ''Sifat syaja’ah memiliki dua pinggir, pinggir sebelah ke atas terlalu panas, itulah yang bernama tahawwur, yaitu berani babi. Pinggir ke sebelah bawah terlalu dingin, itulah yang bernama jubun (pengecut)''.

Dari penjelasan Hamka ini dapat dipahami bahwa ada dua titik ekstrim yang harus dijauhi, yaitu berani babi dan pengecut. Idealnya posisi kita berada di tengah, tidak berani babi dan tidak pula pengecut.

Sikap pengecut adalah sikap paling hina dan bahkan dikecam oleh agama sebagaimana dikecamnya orang-orang yang lari dari medan perang. Seorang pemimpin dituntut untuk berani dan menghindari sikap pengecut (jubun).

Sikap jubun itu sendiri akan menghilangkan kewibawaan dan kharisma seorang pemimpin. Di sisi lain, seorang pemimpin tidak hanya pandai bersuka ria ketika rakyatnya gembira, tapi pemimpin juga harus mampu berduka cita ketika rakyatnya sengsara.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement