Ahad 06 Nov 2016 20:36 WIB

Penegak Hukum Dinilai Kurang Sensitif dalam Berbhineka Tunggal Ika

Rep: Umi Nur Fadhilah/ Red: Ilham
Massa memadati kawasan bundaran air mancur saat aksi 4 November di Jakarta, Jumat (4/11).
Foto: Antara/Wahyu Putro A
Massa memadati kawasan bundaran air mancur saat aksi 4 November di Jakarta, Jumat (4/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII), Muzakir menilai, seharusnya pemerintah sudah memberikan perhatian sejak mencuatnya kasus dugaan penistaan agama yang diduga dilakukan Gubernur DKI Jakarta non-aktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Alasannya, target materi kasus tersebut berpotensi memecah belah NKRI.

"Sesungguhnya, seharusnya sejak kemarin atensinya sudah ada. Bukan karena tekanan publik," kata dia saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (6/11).

Ia melihat, aparat penegak hukum kurang sensitif dalam Berbineka Tunggal Ika. Muzakir menyayangkan, Kapolri yang pernah menyatakan, kasus dugaan penistaan agama itu tidak cukup bukti sebagai tindakan pidana. "Kapolri tidak boleh membuat pernyataan apapun, karena itu letaknya terhadap Bareskrimnya. Dan, Bareskrim kalau belum selesai urusan, jangan membuat pernyataan seperti itu," ujarnya.

Muzakir mencontohkan, apabila pernyataan serupa keluar dalam perkara korupsi, maka kasusnya dapat dipindahkan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia menilai, dugaan penistaan agama yang diduga dilakukan Ahok, serupa dengan Jessica Kumala Wongso.

"Saya kira ini ujian kepolisian. Hukum itu mengabdi demi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, atau hukum itu mengabdi pada kekuasaan," kata Muzakir.

Sebelumnya, pemerintah berjanji akan menyelesaikan kasus dugaan penistaan agama dalam waktu dua pekan. Janji pemerintah tersebut disampaikan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) saat menerima perwakilan dari peserta demonstrasi pada Jumat (4/11) kemarin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement