REPUBLIKA.CO.ID, INDRAMAYU -- Ribuan nelayan di Desa Eretan Kulon, Kecamatan Kandanghaur, Kabupaten Indramayu, terancam menganggur. Hal itu menyusul larangan penggunaan alat tangkap tak ramah lingkungan yang akan dimulai awal 2017 mendatang.
‘’Nelayan di sini sekarang sedang resah, gak tau gimana nasibnya nanti. Bisa jadi nganggur,’’ kata Ketua KUD Mina Bahari, Desa Eretan Kulon, Royani kepada Republika, Ahad (30/10).
Di Desa Eretan Kulon terdapat sekitar 1.500 nelayan. Mereka melaut dengan kapal berukuran antara 10 – 28 GT, dengan alat tangkap berupa dogol/cantrang. Berdasarkan Permen Nomor 2/PERMEN-KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets), dogol/cantrang masuk kategori alat tangkap tak ramah lingkungan yang dilarang pemerintah.
Namun, berdasarkan Surat Edaran Nomor: 72/MEN-KP/II/2016 tentang Pembatasan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Cantrang di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI), nelayan masih diberi kesempatan menggunakan alat itu hingga Desember 2016.
Royani mengungkapkan, untuk mengganti alat tangkap yang diizinkan pemerintah, nelayan di desanya sebenarnya bersedia. Namun, mereka tidak memiliki biaya untuk mengganti alat tangkap tersebut. ‘’Sebagai rakyat, kami nurut. Tapi alatnya tidak ada. Kalau negara tidak mau membantu, entah kami harus bagaimana,’’ tutur Royani.
Royani menjelaskan, nelayan di desanya biasa melaut ke perairan Laut Jawa. Dalam kurun waktu sekali berlayar selama tujuh sampai sepuluh hari, mereka rata-rata hanya memperoleh hasil tangkapan senilai Rp 25 juta.
Namun, dari jumlah Rp 25 juta itu, terpotong untuk biaya melaut sebesar Rp 20 juta. Sisa keuntungan Rp 5 juta, dibagi dua antara pemilik kapal dengan nahkoda dan anak buah kapal (ABK) yang jumlahnya antara 12 – 15 orang.
‘’Rp 2,5 juta dibagi untuk 12-15 orang. Rata-rata hanya dapat sekitar Rp 200 ribu per orang, yang mereka peroleh dari hasil melaut selama tujuh sampai sepuluh hari,’’ terang Royani.
Sedangkan pemilik kapal, lanjut Royani, juga harus menyisihkan penghasilan yang diperolehnya untuk membayar pinjaman ke bank. Pasalnya, modal yang dimiliki para pemilik kapal diperoleh dari pinjaman ke bank. ‘’Jangankan untuk membeli alat tangkap baru, untuk membiayai kehidupan sehari-hari saja sudah pas-pasan. Nelayan tidak mampu,’’ kata Royani menegaskan.
Salah seorang nahkoda kapal asal Desa Eretan Kulon, Tasiwan mengatakan hal senada. Dia mengaku tidak mampu untuk membeli alat tangkap baru karena harganya sangat mahal. Misalnya, jaring gillnet yang harganya bisa mencapai miliaran rupiah.
‘’Mengganti alat tangkap itu tidak semuda membalikkan telapak tangan. Dari mana kami bisa membelinya?’’ kata pria yang juga pemilik KM Arema I dan KM Arema II tersebut.
Tasiwan mengaku menggunakan alat tangkap dogol/cantrang sejak 25 tahun yang lalu. Dia biasa melaut untuk mencari ikan di perairan Indramayu dan Subang. Setiap kali melaut selama tujuh sampai sepuluh hari, penghasilan yang diperoleh ABK-nya sekitar Rp 300 ribu per orang.
Tasiwan menambahkan, selama ini dia meminjam dana ke perbankan untuk biaya melaut. Cicilan pinjaman tersebut harus selalu dibayarnya setiap bulan. Karena itu, penghasilan ‘bersih’ yang diperolehnya selama ini hanya cukup untuk kebutuhan makan dan biaya sekolah anak-anaknya.
Kabid Kelautan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Indramayu, Asep Suryana menjelaskan, jumlah alat tangkap milik nelayan di Kabupaten Indramayu seluruhnya ada sekitar 6.000 unit. Dari jumlah itu, ada sekitar 1.700 unit alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Di antaranya berupa dogol, garok, apolo dan arad.
Asep menambahkan, Pemerintah Pusat sudah mengalokasikan bantuan alat tangkap ramah lingkungan bagi 519 orang nelayan di Kabupaten Indramayu pada tahun ini. Namun, bantuan tersebut dikhususkan bagi nelayan yang kapalnya dibawah 10 GT. ‘’Berdasarkan aturan dari pemerintah, pada awal 2017 nanti semua alat tangkap harus ramah lingkungan,’’ tandas Asep.