REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode Syarif menilai proses pemilihan rektor yang memberikan 35 persen hak suara kepada Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi rawan korupsi.
"Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti) mungkin tidak selalu semena-mena menggunakan hak itu, tetapi potensi kerawanan korupsi itu ada," kata Laode seusai penutupan Anti Corruption Summit (ACS) 2016 di Yogyakarta, Rabu (27/10).
Mengacu Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 33 Tahun 2012 dalam pemilihan rektor perguruan tinggi, menteri memiliki 35 persen hak suara dari total pemilih. Sedangkan senat memiliki 65 persen hak suara.
Menurut Laode, di lingkungan lembaga pendidikan seharusnya tidak perlu ada aturan yang membuka peluang tindakan korupsi. Meski demikian KPK belum memiliki kajian khusus mengenai mekanisme pemilihan rektor tersebut sebab masih dipandang bukan sesuatu yang strategis.
"Apalagi hanya (diatur) peraturan menteri (permen) sehingga tidak terlalu signifikan untuk kita lakukan kajian. Tetapu seharusnya lembaga pendidikan tidak boleh ada begitu-begitu, harus memberikan contoh," ujarnya.
Ia mengatakan meski masih perlu diverifikasi kebenarannya, pada periode 2016 ada laporan yang masuk ke KPK mengenai indikasi suap dalam pemilihan rektor di sejumlah universitas.
"Ada indikasi di antarnya di Makasar, Sumatera, Kendari, pokoknya banyak laporan, yang saya ingat itu," ucapnya.
Dalam kesempatan yang sama, Mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mengaku sudah lama mendengar isu mengenai indikasi suap pada sejumlah pemilihan rektor. Mahfud menilai hal itu berpeluang terjadi mengingat 35 persen suara menteri bisa diberikan kepada kandidat rekotor yang memiliki suara sedikit, sehingga menang.
"(informasi)itu belum tentu benar. Saya mendengar itu pada bulan puasa lalu, tetapi bisa juga benar," kata Mahfud.