Rabu 26 Oct 2016 03:30 WIB

Metode Blusukan Bisa Timbulkan Stigma Negatif, Mengapa?

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Bilal Ramadhan
Pilkada Serentak (Ilustrasi)
Foto: Republika/Wihdan
Pilkada Serentak (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Komunikasi Politik dari Universitas Jayabaya, Lely Arrianie Napitupulu berpendapat, komunikasi politik yang saat ini diterapkan para calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta tidak lagi bersifat linier atau satu arah.

Tetapi, pola komunikasi politik tersebut sudah bergeser pada hal-hal yang bersifat interaksi secara langsung atau blusukan. "Blusukan itu kan salah satu model komunikasi politik yang bersifat interaksional. Sehingga seolah-olah tidak ada jarak antara yang memilih dan dipilih," kata Lely kepada Republika.co.id, Selasa, (25/10).

Pada kenyataannya, metode blusukan tersebut selalu menyajikan stigma negatif, baik bagi yang memilih ataupun yang dipilih. Itu tak lain karena masyarakat kerap menganggap, komunikasi antara yang memilih dan yang dipilih akan selesai ketika yang dipilih itu terpilih.

"Ini menjadi stigma yang sudah menjadi negatif. Masyarakat berfikir ah itu lagu lama. Jadi mumpung dia belum jadi (gubernur), kesempatan aja minta apa-apa sama dia," terang Lely.

Lely melanjutkan, masyarakat menyadari betul, ketika calon gubernur sudah terpilih, protokoler akan membatasi dan membuat jarak komunikasi antara keduanya. Maka dari itu, mereka memanfaatkan betul ketika sang calon melakukan blusukan dan menemui mereka secara langsung.

"Itu disadari betul oleh masyarakat karena sudah biasa mengalami itu. Mereka nampak waktu kampanya turun ke jalan, salaman, tapi ketika sudah terpilih, jarak protokoler itu membatasi jarak komunikasi antara yang memilih dan yang dipilih," ucap Lely.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement