Selasa 25 Oct 2016 16:23 WIB

Tere Liye Lakukan Empat 'Eksperimen' di Buku Terbarunya

Rep: Gita Amanda/ Red: Andi Nur Aminah
Novel terbaru karya Tere Liye, Jakarta, Selasa (25/10). Republika Penerbit kembali menghadirkan karya dari Tere Liye yang berjudul
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Novel terbaru karya Tere Liye, Jakarta, Selasa (25/10). Republika Penerbit kembali menghadirkan karya dari Tere Liye yang berjudul

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nama Tere Liye sudah tak diragukan lagi dalam menghasilkan karya-karya novel. Untuk novel terbarunya, Tere mengaku melakukan sejumlah eksperimen. Tere mengaku melakukan beberapa eksperimen untuk karya novel terbarunya.

Pertama, menurut Tere, ia memasukkan puluhan quote-quote dari nasihat lama. "Kalian mungkin pernah melihatnya berseliweran di media sosial. Misalnya: 'Nasihat-nasihat lama itu benar sekali, cinta memang tidak perlu ditemukan, cinta-lah yang akan menemukan kita. Terima kasih. Aku tidak akan menangis karena sesuatu telah berakhir, tapi aku akan tersenyum karena sesuatu itu pernah terjadi. Karena dicintai begitu dalam oleh orang lain akan memberikan kita kekuatan, sementara mencintai orang lain dengan sungguh-sungguh akan memberikan kita keberanian', ” ujar Tere dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Selasa (25/10).

Dalam satu tarikan nafas saja menurutnya sudah ada tiga quote lama yang dimasukkan dalam salah-satu paragraf. Quote-quote ini jika ditelusuri, Tere mngataka susah memastikan siapa yang dulu pertama kali menuliskannya. Bahkan website besar sekalipun, keliru rujukan, dan susah memastikan rujukannya.

Terlepas dari itu, menurut Tere, daripada pusing berdebat siapa yang dulu menuliskannya, novel ini menuliskannya kembali. "Simpel maksudnya semoga itu membuat nasihat-nasihat lama yang indah ini terus abadi. Bukan berarti saya mengklaim quote itu sebagai ciptaan saya," katanya.

Eksperimen kedua di novel ini menurut Tere, yakni menggunakan dialek setempat. Biasanya Tere tak mau pusing dengan dengan dialek setempat. Novel ber-setting Aceh misalnya (Hafalan Shalat Delisa), tetap menggunakan gaya bahasa Indonesia, novel ber-setting Makassar (Rindu), juga tetap gaya bahasa formal Indonesia.

Tapi di novel ini, Tere mencoba menggunakan dialek setempat terutama di setting cerita Jakarta pada 1970-an, saat Monas sedang dibangun. Hal itu menurutnya menjadi tantangan tersendiri.

Ekperimen ketiga, Tere untuk pertama kalinya benar-benar menggunakan setting luar negeri sebagai pondasi cerita. Dari 25 novel karyanya menurut Tere ia tak pernah menggunakan setting luar negeri.

"Saya tahu Korea, Tokyo, London, Sydney, Amerika, adalah favorit para pembaca. Tapi saya lebih memilih Pontianak, Depok, atau daerah lokal apalah sebagai lokasi cerita. Di novel ini, izinkan saya memakai London dan Paris. Bukan untuk keren-kerenan, tapi itu sungguh kebutuhan cerita," ujar pemilik nama asli Darwis tersebut. Menurut Tere akan sulit membentuk cerita jika tetap berlokasi di dalam negeri.

Eksperiman keempat, novel ini ada versi bahasa Inggrisnya. Versi bahasa Inggris ini tidak kalah pentingnya dengan versi bahasa Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement