Senin 24 Oct 2016 22:42 WIB

Dede Yusuf: Benahi Regulasi Hambat Produksi Obat

Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf menjadi pembicaradalam diskusi Dialektika Demokrasi di komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (21/7).
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf menjadi pembicaradalam diskusi Dialektika Demokrasi di komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (21/7).

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf menyatakan perlu ada upaya pembenahan terhadap regulasi yang menghambat produksi dan distribusi obat nasional. Ini agar industri farmasi hidup dan berkembang.

"Saya masih kerap mendapat keluhan dari perusahaan farmasi terkait izin edar yang begitu sulit dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan, harus ada penataan ulang regulasi jangan sampai hal itu justru menjadi bumerang bagi industri farmasi dalam negeri," kata Dede Yusuf pada Munas Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia (GPFI) di Bandung, Jawa Barat, Senin (24/10).

Menurut Dede, susahnya izin edar obat itu membuat peredaran obat menjadi terkendala. Bahkan berandil dengan kerap adany kekurangan pasokan obat di rumah sakit pemerintah maupun swasta. Ia menyambut baik dari upaya Badan Pengawasann Obat dan Makanan (BPOM) yang telah mempersingkat waktu pelayanan pendaftaran produk dari 40 hari menjadi seminggu. Namun selain itu diharapkan juga diikuti dengan perubahan regulasi yang bisa menggairahkan produksi farmasi dalam negeri.

"Keluhan dari pengusaha farmasi, ya di izin edar itu. Bila ada yang bisa diubah ya ubah. Kebijakan yang bagus kita dukung, tapi bila ada yang kurang bagus kita perbaiki bersama," katanya.

Pada kesempatan itu, ia berharap pemerintah memberikan kemudahan bagi industri farmasi dan tidak memberatkan bagi mereka sehingga bisa menjadi kekuatan dalam mendukung program kesehatan masyarakat. Dede Yusuf menyebutkan, pihaknya telah membentuk Panitia Kerja yang menangani peredaran vaksin dan obat-obatan. Di dalamnya, menurut dia termasuk tata kelola obat serta mempersiapkan ke depannya dari perkembangan farmasi nasional.

"Tata kelola obat nasional perlu menjadi perhatian, jangan sampai pemenang tender obat yang nilainya kecil harus dikirim ke daerah yang membutuhkan biaya besar yang tidak sebanding. Dampaknya bisa terjadi kekurangan obat untuk program JKN, nanti BPJS Kesehatan kena bully karena obat tidak ada di rumah sakit," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement