REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA) menyebutkan, pemerintah Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap air bersih. Pasalnya, setiap tahun masih ada 100 ribu bayi meninggal dunia akibat ketiadaan air bersih dan buruknya fasilitas sanitasi.
Selain itu, sebanyak 120 juta penduduk Indonesia belum bisa mengakses air bersih secara mudah. Padahal di sisi lain, negeri ini merupakan negara kelima dengan kekayaan sumber daya air terbesar di dunia.
"Kasus bayi meninggal akibat sanitasi yang buruk, paling banyak terjadi di wilayah perkotaan," tutur Anggota dan peneliti KRuHA, Muhammad Reza.
Menurutnya, kondisi tersebut terjadi karena laju pertumbuhan penduduk tidak terkendali. Ditambah dengan semakin meburuknya kualitas air di berbagai daerah. Reza mengemukakan, di wilayah perkotaan banyak tumbuh sektor industri yang biasanya didampingi oleh masalah dengan pengelolaan limbah yang mencemari air.
Padahal air yang seharusnya dikonsumsi masyarakat adalah air dangkal atau permukaan. Namun akibat sistem pengelolaan limbah yang kurang baik, air dangkal malah tercemar. Sehingga tidak dapat dikonsumsi masyarakat.
Sementara itu ahli lingkungan dari UNIKA Soegijapranata, Wijanto Hadipuro mengemukakan, sekarang masyarakat Indonesia 'dipaksa' untuk membeli air dengan berlangganan melalui Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Di mana pengelolaan PDAM terkadang dijalankan secara swasta.
Kondisi ini yang kemudian membuat masyarakat diposisikan sebagai konsumen, bukan objek negara yang segala kebutuhannya harus dipenuhi oleh pemerintah. Padahal setiap warga berhak atas akses terhadap air. Bahkan secara cuma-cuma, karena air merupakan sumber kebutuhan yang sangat vital.
"Sebenarnya kita juga punya hak untuk mendapatkan air berkualitas. Apakah memang air PDAM layak dikonsumsi? Mengingat kita membayarnya berdasarkan hitungan permeter kubik," kata Wijayanto.