Sabtu 22 Oct 2016 06:00 WIB

Keterbatasan yang Menginspirasi

Asma Nadia
Foto: Daan Yahya/Republika
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID, Empat  atlet renang terjun meluncur setelah tanda start ditembakkan. Semua  melaju secepat mungkin untuk mencapai ujung kolam, lalu kembali begitu seterusnya sampai putaran akhir. Sekilas  tidak ada yang luar biasa, akan tetapi peristiwa ini menjadi istimewa karena seluruh perenang tersebut  difabel netra. Mereka tidak bisa melihat.

Laras, salah satu peserta, mengatakan ia menghitung ayunan tangan untuk memperkirakan jauh lintasan. 

"Untuk lintasan 100 meter, biasanya dicapai setelah 85 kayuhan," katanya.

Atlet lain Bambang, menceritakan kendalanya ketika bertanding bulu tangkis.

"Saat mengarahkan kursi roda ke depan dan ke belakang, rodanya terasa tidak menggigit," ujarnya.

Bukan komplain, sang atlet sekadar bercerita. Tapi cukup untuk menunjukkan betapa berat tantangan yang   harus dihadapi atlet Perpanas dibanding atlet PON.

Jika atlet PON mungkin  fokus memaksimalkan gerak tubuh, atlet Perpanas (Pekan Paralimpik Nasional) harus juga  memperhitungkan bagaimana mensinergikan tubuh dengan alat bantu.

Berbeda lagi kisah Halim. Sejak kecil ia mencintai sepak bola. Sayang di usia 15 tahun ia menderita ablasio retina yang berakhir dengan kebutaan pemanen. Namun kehilangan kemampuan melihat tidak membuatnya putus asa, ia mendalami  lari. Dari olahraga ini ia memperoleh medali emas di ajang Pekan Paralimpik Daerah dan dua  perak di tingkat ASEAN. Ia juga mendapat medali emas untuk kategori loncat jauh.

Pekan Paralimpik bukan ajang olahraga biasa.

Setiap peserta, jauh sebelum menaklukkan pesaing di lapangan, terlebih dahulu harus  mengatasi keterbatasan diri.

Terlepas menang atau kalah, semua atlet yang ikut dalam Paralimpik telah membuktikan pada mata dunia bahwa keterbatasan bukan halangan.

Berbeda dengan kompetisi olahraga lain, setiap atlet Paralimpik selain mewakili klub atau daerah asal, turut menjadi jembatan mimpi dan harapan setiap warga difabel.

Perenang difabel netra selain mewakili daerah, misalnya juga mewakili mimpi 3,5 juta tunanetra lain di Indonesia, terlepas keterbatasan, mereka  mampu berprestasi.

Demikian juga atlet difabel cabang olahraga lain.

Terus terang, saya mencoba mencari tahu lewat google,  jumlah  penyandang difabel lain di Indonesia ketika menulis artikel ini,  hanya saja tidak menemukannya. Apakah saya kurang cermat  atau belum banyak  yang menuliskan? Terpikir seharusnya ada lembaga resmi berwenang yang mengumumkan data tersebut setiap tahun. Atau setidaknya ada individu  atau lembaga independen yang mempublikasikan agar  terbangun kepedulian masyarakat terhadap keberadaan mereka.

Semoga ketiadaan itu murni ketidaktahuan saya, atau belum maraknya informasi, dan bukan  minimnya  perhatian  kepada saudara kita yang difabel.

Walaupun,  harus diakui, kenyataannya sampai saat ini difabel di Indonesia masih belum mendapat  perhatian  memadai.

Di dunia pendidikan, 3 juta anak dan remaja yang mempunyai keterbatasan fisik. Namun masih sulit  memperoleh fasilitas pendidikan yang sesuai.

Infrastruktur di Indonesia walau secara bertahap mulai diperhatikan namun belum benar-benar  ramah bagi kaum difabel. Di bidang olahraga, Paralimpik sudah membuka ruang bagi difabel   untuk  kesempatan berprestasi, dengan bonus hadiah yang cukup menggiurkan.  

Sekalipun pembukaan Paralimpik tahun ini juga mendapat sorotan di media. 

Berbeda dengan PON yang dibuka langsung oleh Presiden, Paralimpik dibuka oleh Menko. Pun ternyata Menko berhalangan sehingga dibuka oleh pejabat setingkat menteri.

Syukurnya, setidaknya penyelenggaraan event olahraga difabel tahun ini semarak dan menggunakan fasilitas  berkelas. Bahkan panitia menjanjikan penutupan yang tak kalah menarik.

Mewakili harapan para difabel dan keluarga mereka serta siapa saja yang peduli, semoga semakin banyak kesempatan, fasilitas, sarana, dan pra sarana lain yang memberi kemudahan pada saudara kita yang berjuang dengan keterbatasan fisik. 

Terima kasih kepada para atlet Paralimpik yang telah memberi inspirasi bangsa Indonesia, bahwa keterbatasan bukan penghalang  untuk  terus berpresasi dan melangitkan mimpi.

 

 

 

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement