Rabu 19 Oct 2016 20:38 WIB

Soal Dualisme PPP, Pakar: Kemenkumham Harusnya Ikuti Putusan MA

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Bilal Ramadhan
Simpatisan mengibarkan bendera Partai Persatuan Pembangunan (PPP) saat kampanye PPP Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat, Sabtu (5/4). (Republika/Prayogi)
Simpatisan mengibarkan bendera Partai Persatuan Pembangunan (PPP) saat kampanye PPP Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat, Sabtu (5/4). (Republika/Prayogi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Indonesia Budi Darmono menyatakan seharusnya Kementerian Hukum dan HAM menuruti hasil putusan Mahkamah Agung yang mengesahkan kepengurusan PPP kubu Djan Faridz.

Budi menilai Kemenkumham sejak adanya putusan MA yang memenangkan PPP kubu Djan Faridz harus sudah mengakui kepengurusan PPP kubu Djan tersebut dengan mengeluarkan surat keputusannya.

"Kemenkumham ini terlalu banyak nuansa politiknya. Sangat kental nuansa politiknya sehingga putusannya banyak dipengaruhi oleh politik. Sehingga dia bisa mengabaikan MA, atau mengikuti MA, tidak ada konsistensi jadinya," kata dia, Rabu (19/10).

Seharusnya, kata Budi, Kemenkumham itu mengikuti putusan dari yudikatif. Ia pun membandingkan dengan kasus pecah kongsinya Partai Golkar beberapa waktu lalu yang kemudian kasus tersebut dibawa ke MA.

MA pun kemudian mengeluarkan putusan yang mengesahkan Aburizal Bakrie sebagai ketua umum. Dan saat itu, Kemenkumhan mengikuti putusan MA.

"Jadi kita tunggu saja putusan MK ini, karena dua lembaga ini (MA dan Kemenkumham) kan bertentangan. Yudikatif dan eksekutif memang biasa sering terjadi pertentangan. Seharusnya itu kan Kemenkumham mengikuti putusan MA," ucap dia.

Jika putusan MK nantinya mengesahkan kepengurusan PPP kubu Djan Faridz, maka tidak ada alasan lagi bagi KPU khususnya untuk tidak menggunakan putusan MK tersebut sebagai rujukan. Bahwa, KPU harus mengikuti putusan yang nantinya dikeluarkan MK terkait penyelesaian sengketa kepengurusan PPP.

Jika putusan tersebut keluar sebelum 24 Oktober, kata dia, maka KPU pun harus membatalkan kepengurusan PPP kubu Romi. "Seharusnya KPU pun melihatnya seperti itu," kata dia.

Bahkan, sejak adanya putusan MA beberapa waktu lalu, KPU juga semestinya mengikuti putusan MA yang mengesahkan kubu Djan itu. Sebab, harus diketahui, pengadilan adalah institusi untuk penafisir hukum. "Terus buat apa ada pengadilan kalau akhirnya putusannya diabaikan," ujar dia.

Karena kondisi ini, muncul ketidakpastian hukum. Sebab, di satu kasus Kemenkumham mengikuti MA dan di kasus PPP malah tidak mengikutinya. "Tapi memang kadang di hukum kita itu tidak konsisten. Dulu waktu MA memenangkan Aburizal terus dia (Kemenkumham) mengikuti kan. Aburizal yang berhak. Sekarang, dia tidak mengikuti putusan MA," ujar dia.

Kalau menyangkut urusan politik, lanjut dia, kekuatan hukum itu jadi impoten karena tidak ada kekuatan pemaksanya. Berbeda dengan hukum pidana dan perdata yang memiliki pemaksanya. Kekuatan pemaksa yang dimaksud adalah pemerintah, polisi dan jaksa.

"Terkait urusan politik, putusan pengadilan itu impoten. Tidak ada kekuatan pemaksanya. Karena kekuatan pemaksanya berada di tangan pemerintah sedangkan pemerintah punya hitungan sendiri. Ini kawan atau lawan karena kan pemerintah diisi oleh politisi jadi tindakan pemerintah pun juga banyak sekali dipengaruhi pertimbanga politik sehingga kadang putusan pengadilan itu jadi mandul," tutur dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement