REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA – Sebanyak lima negara yang tergabung dalam MIKTA (Meksiko, Indonesia, Korea Selatan ,Turki dan Australia) melakukan dialog lintas agama dan budaya di Yogyakarta selama dua hari (18-19 Oktober). "Dialog lintas agama dan budaya negara-negara MIKTA ini baru pertama kali digelar atas inisiatif Indonesia dalam upaya mengatasi ancaman, keamanan, terorisme, radikalisme dan ekstrimisme, kata kata Wakil Menteri Luar Negeri AM Fachir dalam sambutan pembukaan MIKTA Interfaith and Intercultural Dialog, di Hotel Royal Ambarukmo Yogyakarta, Selasa (18/10).
MIKTA merupakan perkumpulan informal lima negara perekonomian berkembang berdasarkan atas berbagai persamaan seperti kekuatan perekonomian yang hampir sama, menjadi anggota G-20, demokratik, pluralis, ada kesamaan kepentingan, baik dari sisi geostrategis maupun peran yang sama yang dimainkan di kawasan yang diwakilkan.
Kegiatan ini diselenggarakan di Yogyakarta karena merupakan salah satu contoh yang penduduknya multikultral yang bisa berinteraksi dan hidup berdampingan secara harmoni. "Yogyakarta unik dengan beragamnya pemeluk agama yang sanggup hidup berdampingan dengan damai dan memiliki tradisi budaya Jawa yang kental. Di Yogyakarta ada Prambanan tempat umat Hindu dan punya Borobudur tempat umat Budha dan itu berada di lingkungan komunitas Muslim. Di Yogyakarta juga berdiri organisasi Islam terbesar di Indonesia pertama yakni Muhammadiyah," ujarnya.
Di samping itu, keberadaa 129 Perguruan Tinggi di Yogyakarta juga membuat generasi muda dari seluruh Indonesia menjadikan Yogyakarta sebagai destinas pendidikan dan budaya. "Karena itu kami memperkenalkan Yogyakarta kepada peserta dialog ini sebagai salah satu contoh kota di Indonesia yang menjunjung kearifan lokal," tuturnya.
Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan, memang dibutuhkan empati antar umat beragama agar bisa terwujud toleransi. Selain itu, pemahaman dan penghormatan pada tradisi yang berbeda juga menjadi letak esensi dalam kehidupan beragama. "Perbedaan tidak harus dikompromikan, tetapi perlu pengertian sehingga terwujud toleransi," kara Raja Keraton Yogyakarta ini.
Lebih lanjut Fachir mengatakan, di beberapa kawasan dunia ada beberapa tantangan yang harus dihadapi terkait apakah akibat konflik, negara yang sepenuhnya belum punya kendali sehingga menimbulkan berbagai macam gerakan yang mengarah pada radikalisme, terorisme dan esrimisme.
Karena itu, dalam dialog ini, pihaknya berharap anggota MIKTA menyampaikan pengalamannya dalam mengelola keberaagaman dan menghadapi persoalan radikalisme, terorisme dan ekstrimisme. "Pada kesempatan ini kami undang tokoh akademisi, pemerintah dan masyarakat. Kami berharap peserta dialog mendapatkan penjelasan, keterangan dari apa yang mereka lakukan dalam menghadapi berbagai persoalan tersebut," ujarnya.
Seperti halnya negara Indonesia yang dibentuk berdasarkan kebersamaan, berlatarbelakang keberagaman suku, bangsa, dan warna kulit. "Kita memiliki tiga nilai yakni moderasi, toleransi, dan dialog yang tetap kita pelihara untuk menangani hal-hal yang sifatnya kekerasan. Dalam menangani kekerasan ada dua pendekatan yang dilakukan yakni hukum, tetapi yang lebih banyak pendekatan budaya dan agama," ujar dia.
Fachir berharap, dalam dialog ini nantinya ada kesepahaman, kesamaan pandangan yang menolak kekerasan ekstrimisme dan radikalisme. "Dari Indonesia untuk menghadapi hal itu, kita tampilkan tiga nilai yakni moderasi toleransi, dan dialog. Diharapkan pengalaman dari kita tersebut bisa diterapkan oleh MIKTA yang menghadapi persoalan besar torisme seperti Turki," tuturnya.