REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Warga Sleman dibuat pusing tujuh keliling selama beberapa hari ini menyusul menyusutnya persediaan gas elpiji ukuran 3 kilogram di pasaran. Kalau pun ada, harga bahan bakar utama tersebut kian meroket alias di atas harga eceran tertinggi (HET). Semisal yang dialami Sugiwiyono (63), warga Kecamatan Depok, Sleman. Sudah satu pekan terakhir ia mengaku kesulitan memeroleh gas elpiji tiga kilo gram. "Kalau pun ada di warung ya itu sudah dipesan orang lain. Karena tidak dapat terus, di rumah (keluarga Sugiwiyono) sudah dua hari tidak masak air panas," ujarnya pada Republika, Ahad (16/10).
Menurutnya dia biasa membeli elpiji tiga kilo gram dengan harga di atas Rp 20 ribu. Padahal HET yang telah ditetapkan Pemerintah DIY hanya Rp 15.500. Sugiwiyono menuturkan, saat ini keluarganya tidak dapat beralih pada bahan bakar lain. Jika dulu ia bisa beralih memasak ke tungku dengan mudah, sekarang hal tersebut sulit dilakukan.
"Dulu orang masih bisa kalau tidak ada gas pindah ke kayu. Di kebun masih banyak kayu. Sekarang kayunya sudah jadi properti. Kayu-kayu dijual buat usaha. Sehari-hari susah. Kecuali yang masih di kampung banget," ujarnya. Ia meminta agar pemerintah segera melakukan tindakan untuk menyeimbangkan persediaan gas. Karena dulu pemerintahlah yang memaksa masyarakat untuk pindah menggunakan elpiji.
Sebelumnya seorang pemilik pangkalan gas di Kecamatan Kalasan, Sleman mengaku menjual elpiji tiga kilogram di atas harga eceran tertinggi HET. "Saya elpiji tiga kilogram jual Rp 16 ribu per tabung. Itu pun sudah lebih murah dari pangkalan lain. Yang lain bisa sampai Rp 17 ribu per tabung," ujar seorang pria yang enggan disebut namanya.
Sementara dari agen, penjual gas tabung ini membeli elpiji seharga Rp 14 ribu per tabung. Dia mengaku terpaksa mematok harga tersebut lantaran ada tekanan dari pemilik pangkalan lain di wilayah setempat. Bahkan usahanya malah terancam jika harus menjual gas elpiji tiga kilo dengan standar HET.
Mau tidak mau ia pun harus mengikuti aturan main penjualan elpiji yang dibuat secara ilegal. Diakuinya, sebenarnya dirinya takut dengan praktik melanggar aturan yang dijalaninya. "Ya saya juga takut kalau ketahuan Hiswana Migas (Himpunan Wiraswasta Minyak dan Gas Bumi) atau Pertamina. Nanti pangkalan saya bisa ditutup. Tapi mau bagaimana lagi," ujarnya.
Maka itu, ia merasa berada dalam situasi yang cukup dilematis. Meski demikian, DI tetap menjalankan usahanya. Saat ini ia menerima kiriman elpiji dua kali dalam sepekan. Adapun elpiji tiga kilo gram yang diterimanya dalam satu kali pengiriman sejumlah 40 tabung.
Dia menyampaikan, sampai sekarang tidak ada hambatan baginya untuk memperoleh persediaan elpiji. Bahkan pengiriman rutin pun tetap berjalan dengan lancar. "Ya cuma sekali kirim, elpijinya pasti langsung habis, cepat sekali," katanya.
Sementara itu, Kepala Dinas Sumber Daya Air Energi dan Mineral (SDAEM), Sapto Winarno menuturkan, pihaknya sudah membuat kesepakatan dengan para pemilik pangkalan untuk mematuhi aturan HET. Jika ada pangkalan yang melanggar ketentuan tersebut Dinas SDAEM tidak segan untuk memberikan sanksi.
"Kami tidak akan tinggal diam kalau ada pangkalan yang menjual elpiji di atas HET. Nanti akan kami tindak," katanya saat ditemui di kantor dinas. Sapto menjelaskan, ketentuan HET sendiri dibuat agar pangkalan langsung melayani para konsumen. Bukan untuk dijual ke pengecer.
Jika sudah sampai di pengecer dan harga elpiji jadi melambung, pihaknya tidak bisa berbuat apa-apa. Pasalnya, kewenangan Dinas SDAEM, Hiswana, dan Pertamina, hanya sampai pada tataran agen dan pangkalan. Adapun kuota elpiji untuk Kabupaten Sleman sekarang 34.934 tabung per hari.