Kamis 13 Oct 2016 19:47 WIB

Jeritan Nyeri Seorang Mualaf

 Muslimah mualaf (ilustrasi).
Foto: Reuters/Olivia Harris/ca
Muslimah mualaf (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Harri Ash Shiddiqie *)

Kepada sebuah organisasi dakwah. Seorang mualaf menjerit melalui email. Ini kurang lebih ringkasannya.

"Bantulah saya, hidup saya berantakan. Saya menjadi Muslim 5 tahun yang lalu. Kesepian menyakiti saya sepanjang menjadi Muslim. Di bulan Ramadhan kesepian semakin menikam : Apakah saya bisa  bertahan sebagai Muslim?"

Saat membaca syahadat pertama kali, saya mandi pelukan, ciuman, buku, jilbab, dan nomor telepon. Mereka berkata akan membantu mendalami Islam, mengajarkan shalat. Semua orang terasa menjadi keluarga dekat, nyaman, menyejukkan, Tapi hanya saat itu.

 

Setelah beberapa minggu, mereka tidak menanggapi telepon dan pesan-pesan  saya. Terasa sendirian, sepi, bingung dan sedih. Secara intelektual dan teologis, Islam mencerahkan, tapi dari sisi praktis saya kesulitan berkembang. Saya tidak bisa membaca Alquran, juga shalat.

Saya mencoba belajar dari Youtube dan buku, tidak ada hasilnya. Pelajarannya sepotong-sepotong, sering terpisah-pisah. Aku tidak menyerah. Aku menelepon masjid lokal (mualaf ini wanita Inggris), saya katakan dengan jujur, sudah 5 tahun saya menjadi Muslim, tetapi saya belum bisa membaca Alquran, juga belum bisa shalat. Mereka mentertawakan. Saya sangat 'down', terpukul, sakit .

 

Saya memimpikan, saat Ramadhan saya membaca Alquran dan shalat tarawih dalam damai. Sulit. Saya telah mencoba datang ke masjid berbuka puasa. Mereka menawarkan makanan dan minuman, tapi setelah shalat mereka membentuk lingkaran kecil mereka sendiri, tersenyum, dan tertawa.

Ini perjuangan terakhir saya: Hanya kepada Anda. Dapatkah Anda  membantu saya? Aku putus asa. Mandy.

***

Mualaf ini di Inggris. Sulit terjadi di Cianjur atau di Pariaman. Tapi bagaimana mualaf yang seluruh keluarganya, tetangga, dan lingkungan kerjanya adalah non-muslim, ia berada di Kupang atau Tomohon. Bahkan mungkin di Jakarta.

 

Di perumahan yang antar-tetangga tak saling kenal. Tak ada suara riuh anak-anak berangkat mengaji ke musholla ketika sore hari. Jauh dari guru mengaji yang songkoknya lusuh atau jilbabnya yang kusam, tapi ikhlas mengajar membaca Alquran.

Penulis punya pengalaman. Sungguh, entah berapa kursus yang telah dihadiri, entah berapa buku, entah berapa metode dan video yang harus dibayar agar bisa berbahasa Arab. Jujur, semua gagal!

Itu bisa dialami mualaf. Video pembelajaran singkat sampai kilat sudah dilihat. Buku belajar mengaji dari metoda A sampai Z sudah dijelajahi. Tanpa pendamping, tanpa rutin keseharian untuk membiasakan, jadilah bertahun-tahun ia tetap tidak bisa membaca Alquran, juga tidak bisa shalat.

***

Andaikan ada organisasi dakwah yang bersedia menginventarisasi relawan, siapa saja, berada di mana saja, tidak harus berpendidikan khusus, asal punya HP. Mereka diberi pelatihan singkat agar mudah bergaul, itu bisa dari ebook “Bagaimana Mencari Kawan Dan Mempengaruhi Orang Lain” Dale Canergie. Maka, terbentuk jaringan relawan yang siap berkorban 'telinga' mau mendengar curahan hati. Seorang mualaf di Ambon bisa punya kedekatan 'hati' dengan relawan di Banda Aceh, mereka saling belajar, saling bersaudara, saling mengisi.

Di saat Ramadhan, ketika semua orang berangkat ke masjid dengan suka cita, sang mualaf belajar shalat tarawih. Saudaranya di Banda Aceh (matahari masih siang) menuntun : berdiri, takbir, membaca fatehah, rukuk,  sujud, duduk,  sujud lagi, berdiri lagi, lalu  masuk rakaat kedua.  Ada pendamping, ada praktik.  

Alhamdulillah bila 2-3 hari sebelum lebaran, para mualaf wilayah tertentu berkumpul. Mereka diterjunkan ke desa, setiap 1-2 orang menjadi bagian keluarga sebuah rumah di pedesaan. Mereka merasa betapa indahnya berlebaran dengan keluarga bernuansa Islam, meski di desa. Hawa dingin, perut lapar, makanan seadanya dan mandi di pancuran. Hilanglah tikaman nyeri karena sepi di Ramadhan dan Idul fitri.

Oh. Tidak hanya itu, kita bisa kuatir, jangan-jangan ada orang di sekitar kita, meski bukan mualaf, bahkan sudah Islam sejak lahir, tapi ia juga menjerit kesepian.  Di luar sana memang banyak komunitas, tapi hanya bergurau dan hura-hura. Ia ingin bergabung dengan komunitas keislaman, ada aktivitas nyata dan bermanfaaat. Ke mana dan bagaimana?

***

Semoga, kelak tidak ada lagi, di saat Ramadhan sampai Idul Fitri, ketika semua Muslim gembira berkumpul dengan sanak saudara, tapi ada saudara kita yang mualaf menangis. Nyeri, sepi, sendiri sehingga menjerit lirih seperti mualaf Inggris tadi : Dapatkah Anda membantu saya? Aku putus asa. Ya. Allah ampunilah hamba.

 

*) Dosen di Jember

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement