REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) DKI Jakarta Divisi Hukum dan Penindakan Pelanggaran, Muhamad Jufri mengungkapkan, kasus Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang menyinggung surat Al-Maidah ayat 51 di Kepulauan Seribu, bukan pelanggaran Pilkada. "Bukan pelanggaran administrasi pemilihan, bukan pelanggaran pidana pemilihan. Jadi artinya bukan pelanggaran pilkada," kata dia di Jakarta Pusat, Kamis (13/10).
Jufri menjelaskan, pelanggaran dalam Pilkada sebagaimana dalam Undang-undang nomor 10 tahun 2016 pada pasal 69, larangan kampanye yakni termasuk menghasut, memfitnah, mengadudomba, dan memprovokasi. Dalam konteks kasus Ahok, jika merujuk undang-undang yang sama pasal 71 ayat 3, maka dikatakan bahwa semua kepala daerah, mulai dari tingkat bupati/wali kota hingga gubernur, itu dilarang menggunakan program atau kegiatan pemerintah untuk berkampanye sehingga ada pasangan calon (paslon) yang diuntungkan dan dirugikan.
"Kegiatan itu apakah ada yang dirugikan? Apakah ada yang diuntungkan. Lalu juga kita lihat, apakah sudah ada paslon sekarang, kan tidak ada. Maka, gugur lagi," kata dia.
Terkait pernyataan Ahok yang dinilai banyak kalangan sebagai penistaan agama, Jufri mengatakan, kasus Ahok itu terjadi sebelum memasuki masa kampanye dan masih dalam tahap pendaftaran sebagai paslon. Karena itu, Bawaslu pun tidak bisa menindaklanjuti kasus tersebut sebagai pelanggaran pemilu lantaran belum memasuki masa kampanye.
Pihaknya sudah memutuskan bahwa laporan atas kasus Ahok itu tidak bisa ditindaklanjuti karena bukan mengandung tindak pidana pemilihan dan bukan pelanggaran administrasi pemilihan. "Kalau pun ada lembaga lain yang menangani, saya kira itu hal lain. Kami hanya fokus menegakan aturan yang diatur dalam undang-undang nomor 10 2016 (tentang pemilihan gubernur, bupati dan wali kota)," kata dia.