Kamis 13 Oct 2016 02:32 WIB

Cegah Aksi Teror, Pansus Utamakan Sistem Deteksi Dini

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Esthi Maharani
Terorisme
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Terorisme

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi I DPR RI Supiadin Aries Saputra mengungkapkan Rancangan Undang-Undang Terorisme yang saat ini tengah digodok akan mengaktifkan kembali sistem deteksi dini terhadap para pelaku terror. Hal itu dinyatakan ketika dirinya melakukan kunjungan kerja ke Detasemen 81 Kopassus di Cijantung, Jakarta Timur, Rabu (12/10).

Menurutnya, TNI dan Polri, sebagai lembaga pertahanan dan keamanan negara, belum menjadi garda terdepan dalam mendeteksi secara dini potensi munculnya tindakan terror.

“Sebab mata dan telinga terdepan negara adalah rakyat. Penduduk ditengah-tengah masyarakat yang sehari-hari bergaul, bisa tahu persis, oleh karena itu early warning system harus diaktifkan kembali,” tutur lelaki yang juga menjabat sebagai   Wakil Ketua Pansus RUU Terorisme.

Ia menerangkan, upaya pencegahan dengan early warning system nantinya akan diterapkan hingga ke tataran rukun tetangga (RT) atau rukun warga (RW). Teknisnya, setiap RT dan RW berlakukan wajib lapor 1X24 jam, sehingga setiap pendatang baru bisa diketahui maksud dan tujuan kedatangannya. “Maka secara tidak langsung calon-calon pelaku teroris sudah terdeteksi. Ibarat penyakit, tindakan pencegahan itu jauh lebih penting, jauh lebih baik daripada menyembuhkan penyakit,” ungkap Supiadin.

Ia menilai, saat ini aksi terorisme telah mengalami perkembangan. Tidak hanya sekadar menebar ancaman fisik, teroris, lanjutnya, saat ini kerap memanfaatkan sosial media untuk mengegerkan kestabilan keamanan di sekitar masyarakat.

Oleh karena itu, ujar Supiadin, nantinya RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme akan diubah menjadi RUU Penanggulangan Terorisme. Teradapat tiga substansi yang diutamakan di dalamnya, yakni, pencegahan atau pendeteksian, penindakan dan rehabilitasi pasca terjadi aksi terorisme.

Menurut Supiadin, selama ini masih banyak korban yang belum mendapatkan tunjangan karena tidak adanya status sebagai korban aksi terorisme.

“Nah, kedepan ini tidak boleh terjadi, ada warga negara Indonesia yang jadi korban aksi terorisme namun tidak mendapat tunjangan dari negara. Juga, kerusakan lingkungan seperti rumah ataupun material lainnya akibat terorisme akan menjadi beban negara,” ucapnya menerangkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement