Senin 10 Oct 2016 06:00 WIB

Kue Besar ‘Halal Lifestyle’ Jangan Diserobot Orang Lain!

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Di kalangan tertentu di Arab, kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat, sangatlah terkenal. Terutama bagi para bujangan dan lelaki hidung belang. Di pegunungan yang sejuk itu, sambil berlibur menikmati indahnya pemandangan, mereka bisa mendapatkan pelayanan plus-plus. Di sana mereka tidak susah mendapatkan tawaran ‘selimut hidup’. Bahkan ada pula yang menawarkan nikah sirri, berikut perempuan dan penghulunya.

Sebaliknya, Malaysia lebih dikenal sebagai tempat nyaman bagi para wisatawan keluarga. Anak-anak beserta ayah-ibu, kakek-nenek, dan saudara yang lain bisa menikmati liburan yang aman dan nyaman. 

Kondisi demikian tentu tidak menguntungkan buat pengembangan pariwisata di Indonesia. Padahal, objek-objek wisata di Indonesia bila diadu dengan Malaysia tentu negara jiran itu tidak ada apa-apanya. Masih kalah jauh dari Indonesia. 

Sebut di sektor pariwisata pantai, Indonesia punya Bali, Kepulauan Raja Ampat, Taman Nasional Bunaken, Tanam Nasional Kepulauan Wakatobi, Pulau Derawan, Pantai Sarwana, Pantai Balekambang, Gili Trawangan, Gili Meno, dan Gili Air (Lombok), Pulau Belitung, Karimun Jawa, dan masih banyak lagi. Untuk wisata gunung, ada Bromo, Ijen, Rinjani, Semeru, Gunung Prau, Gunung Merbabu, Gunung Gede dan Prangrango, Gunung Papandayan, Kelimutu, dan lainnya. Di sektor percandian/wisata purbakala, siapa yang tidak mengenal Candi Borobudur dan Prambanan? 

Di sektor kuliner, Indonesia dikenal banyak jenis masakan. Lihatlah, di setiap daerah kita punya banyak jenis masakan khas masing-masing. Tinggal kita memodifikasi jenis-jenis kuliner unggulan untuk disesuaikan dengan lidah wisatawan asing. Baru-baru ini seorang warga negara Norwegia pun menciptakan lagu ‘Nasi Padang’ sebagai ungkapan kecintaannya pada masakan yang berciri khas pedas itu.

Seni dan budaya? Jangan Tanya lagi. Malaysia pun pernah membuat marah kita ketika mengklaim Reog sebagai jenis kesenian mereka. Padahal, kita tahu, Reog adalah jenis kesenian khas Ponorogo. Karena itu, penyebutannya pun Reog Ponorogo. 

Intinya, kita mempunyai harta karun berupa obyek-obyek wisata yang top markotop, namun sektor wisata ini tidak kita kelola secara profesional. Termasuk ketika sistem syariah kini sedang menjadi tren global, yang dibungkus dengan macam-macam nama. Ada Syariah Lifestyle, Halal Lifestyle, Muslem Friendly Destinations, Familiy Tourism, Islamic Finance, dan lain sebagainya. 

Coba bayangkan, bagaimana Malaysia yang berpenduduk 31.7 juta jiwa dan warga Muslimnya hanya sekitar 61 persen dari jumlah itu bisa menjadi tujuan wisata halal/keluarga. Bahkan negeri jiran itu pun disebut sebagai pusat produk halal dunia. 

Majalah Aljazeera edisi Agustus lalu menyebut Malaysia sebagai ‘Ashimah lishina’ati al halal fi al ‘alam. Di antaranya lantaran makanan dan minuman halal yang disajikan oleh berbagai perusahaan penerbangan internasional adalah produk mereka. 

Bagaimana dengan Indonesia? Negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia ini disebut Aljazeera sedang menggeliat. Berbagai pihak sedang mengembangkan sektor pariwisata yang ramah bagi keluarga-keluarga Muslim, yang dijamin tidak ada hal-hal yang dilarang oleh agama. Dari mulai pelayanan, hotel, makanan dan minuman, transportasi hingga kegiatan dan obyek wisatanya. Indonesia juga dikatakan sedang mengembangkan produk-produk halal secara besar-besaran, termasuk di bidang kosmetika, yang selama ini kurang menjadi perhatian para Muslimah.

Majalah Aljazeera menyebutkan halal sudah menjadi gaya hidup sehari-hari umat Islam. Bahkan sudah menjadi tren global. Dari makanan-minuman, pakaian atau fesyen hingga transaksi perbankan dan lainnya. Produk halal kini sudah menjadi industri besar yang melibatkan uang triliunan dolar.  

Untuk mengetahui potensi industri Halal Lifestyle mari kita simak data berikut. Berdasarkan data dari State of the Global Islamic Economy 2014-2015, jumlah umat Islam sedunia sekitar 1.7 miliar jiwa. Atau 25 persen dari seluruh penduduk dunia yang berjumlah sekitar 7 miliar jiwa. Penduduk Muslim tersebar di berbagai belahan dunia. Namun, bila kita ambil 56 negara yang berpenduduk mayoritas Muslim, Produk Domestrik Bruto atau Gross Demestic Product (GDP) mereka mencapai sekitar 6.7 triliun dolar. Bayangkan bila angka itu dirupiahkan!

Dari jumlah itu, dana yang dibelanjakan konsumen Muslim untuk makanan-minuman dan sektor gaya hidup halal diperkirakan mencapai sekitar  2 triliun dolar pada 2013, meningkat 9.5 persen dibadingkan tahun-tahun sebelumnya. Angka ini pada 2019 diperkirakan akan naik mencapai sekitar 3.7 triliun dolar.

Perinciannya, untuk sektor makanan-minuman 1,292 miliar dolar, jasa keuangan 1,214 miliar dolar, travel 140 miliar dolar, pakaian 266 miliar dolar, farmasi 72 miliar dolar, media dan rekreasi 185 miliar dolar, dan untuk sektor kosmetik 46 miliar dolar.  Sedangkan dana yang dikeluarkan konsumen Muslim Indonesia untuk Halal Lifestyle sebagai berikut. Untuk makanan 190,4 milar dolar, jasa keuangan 36 miliar dolar, travel 7,5 miliar dolar, pakaian 18,8 miliar dolar, farmasi 4,88 miliar dolar, media dan rekreasi 9,37 miliar dolar, dan kosmetika 3,44 miliar dolar.

Ya, dengan ‘kue’ sebesar triliunan dolar seperti itu tak mengherankan bila kemudian berbagai produk dan jasa yang terkait dengan Halal Lifestyle pun menjadi rebutan banyak pihak. Bukan hanya oleh negara-negara (mayoritas) Muslim, namun juga oleh negara-negara non-Muslim seperti Thailand, Inggris, Australia, Selandia Baru, Spanyol, Korea Selatan, Chile, Jepang, dan lainnya. Masing-masing negara mempunyai kalender tahunan untuk menggelar pameran, expo, seminar, atau apapun namanya.  

Indonesia yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia tentu mempunyai potensi yang sangat besar untuk memperebutkan pangsa pasar untuk produk-produk yang terkait dengan Halal Lifestyle ini. Bukan hanya pasar di luar negeri, potensi pasar dalam negeri pun sangat besar. Syaratnya hanya satu: Halal Lifestyle dan yang terkait harus menjadi gerakan besar yang melibatkan semua pihak. Masing-masing pihak harus saling mendukung.

Apalagi jasa dan pruduk halal merupakan hak setiap warga, terutama umat Islam, yang dilindungi oleh undang-undang. Dan, ketika halal menjadi gaya hidup yang bahkan sudah mengglobal, maka di sana juga terbuka luas peluang bisnis. Karena itu sudah sewajarnya bila pemerintah/negara – baik pusat maupun daerah -- memberi berbagai kemudahan dan bahkan insentif buat para pelaku bisnis Halal Lifestyle.

Di dalam negeri, Indonesia bisa menarik para wisatawan keluarga Muslim dari berbagai negara, utamanya dari negara-negara kaya di Timur Tengah. Percayalah, sektor wisata kita bisa sangat menarik bila dikelola secara profesional. Dari mulai pantai, gunung, pamandangan alam, mal, pusat-pusat kerajinan, kuliner, seni, dan produk-produk halal lainnya. Sementara untuk pasar luar negeri, Timur Tengah belum tergarap dengan baik. Produk-produk kosmetika, fesyen/pakaian muslimah, farmasi, dan lainnya harus gencar kita promosikan  ke Negara-negara kaya Timur Tengah. Jangan sampai kue produk-produk Halal Lifestyle diserobot negara lain.

Kalau tidak, negara kita akan selamanya hanya dikenal sebagai  pengekspor para babu (pembantu), kuli bangunan, dan sopir. Sektor wisatanya pun hanya dikenal Puncak, yang menawarkan wisata esek-esek. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement