Rabu 05 Oct 2016 21:56 WIB

Korban Vaksin Palsu RS St Elisabeth Layangkan Gugatan Perdata

Rep: Kabul Astuti/ Red: Israr Itah
Vaksin palsu (ilustrasi)
Foto: Republika/Mardiah
Vaksin palsu (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, BEKASI -- Kasus vaksin palsu kembali bergulir. Orang tua korban vaksin palsu RS St Elisabeth, Jalan Raya Narogong, Rawalumbu, Kota Bekasi melayangkan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Bekasi, Rabu (5/10).

Sebanyak dua belas orang tua korban pasien vaksin palsu yang diwakili oleh tim kuasa hukum Hudson Hutapea datang menyambangi PN Bekasi, Rabu (5/10) pukul 13.00 WIB. 

"Tim kuasa hukum korban vaksin palsu RS St Elisabeth telah resmi mendaftarkan gugatan perdata perbuatan melawan hukum. Kami menggugat sebanyak delapan tergugat," kata Hudson Hutapea, kepada Republika.co.id.

Hudson memaparkan, ada delapan pihak yang digugat oleh tim kuasa hukum, yakni Yayasan Rumah Sakit St Elisabeth, CV Azka Medika selaku distributor vaksin palsu, dr Antonius Yudianto selaku Direktur Utama RS St Elisabeth, dr Fianna Heronique selaku dokter anak, dr Abdul Haris Thayeb, Kementerian Kesehatan, BPOM, dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

Korban mengajukan gugatan materiil sebesar Rp 50 juta dan gugatan immateriil sebesar Rp 50 miliar yang ditujukan kepada rumah sakit dan seluruh pihak tergugat lainnya. Kerugian materiil sebesar Rp 50 juta ini dihitung berdasarkan biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk vaksinasi pasien terpapar vaksin palsu. 

Sementara itu, kerugian imateriil diperhitungkan dari risiko moril dan risiko asuransi jangka panjang para pasien terpapar vaksin palsu. Asuransi jangka panjang ini penting bagi para pasien korban vaksin palsu mengingat kondisi antibodi mereka yang rentan, apabila sewaktu-sewaktu di masa depan mengalami dampak penyakit. 

"Kami juga menggugat supaya izin operasional RS Elisabeth dicabut. Izin praktik dari para dokter anak ini juga dicabut, dan terakhir sita jaminan sebesar Rp 10 miliar," imbuh Hudson, usai pendaftaran gugatan perdata.

Menurut Husdon, sebanyak 90 persen korban yang melayangkan gugatan ini namanya tertera dalam daftar 125 pasien korban vaksin palsu yang dikeluarkan RS Elisabeth. Dari 12 penggugat, ada dua penggugat yang namanya tidak tercantum dalam daftar korban pasien vaksin palsu RS Elisabeth. 

Hudson menyatakan, keberadaan dua penggugat ini menjadi catatan penting sebab meruntuhkan klaim RS Elisabeth bahwa penggunaan vaksin palsu baru dimulai November 2015. Sebagian besar pasien terpapar vaksin palsu jenis Pediacel. Kendati sudah ada vaksinasi ulang, para penggugat melayangkan mosi tidak percaya terhadap rumah sakit.

"Mereka mengatakan menggunakan vaksin itu sejak November 2015. Nah, dengan kami melakukan uji laboratorium terhadap korban-korban pasien di luar periode itu, ternyata hasil uji labnya itu anti bodinya non reaktif. Ini meruntuhkan klaim dari RS St Elisabeth. Ini penting," kata Hudson menekankan.

Secara terpisah, tim kuasa hukum korban vaksin palsu RS St Elisabeth juga mengajukan gugatan pidana ke Polda Metro Jaya. Hudson mengungkapkan, sampai saat ini perkembangan gugatan pidana kasus vaksin palsu masih bergulir. Seluruh dokter tergugat sudah diperiksa, termasuk dokter anak dan direktur utama RS St Elisabeth. 

Begitu pula, lanjut Hudson, ahli dari laboratorium yang menjadi tempat pasien korban vaksin palsu melakukan pemeriksaan kesehatan apoteker RS St Elisabeth. "Kita percayakan sepenuhnya pada Ditkrimsus Polda Metro Jaya. Kita harapkan secepatnya agar pengungkapan kasus ini segera terang," ujar Hudson.

Sebelumnya, RS St Elisabeth Bekasi telah merilis 125 nama pasien terpapar vaksin palsu. Sebagian di antaranya sudah mendapatkan vaksinasi ulang di RS Rawalumbu dan fasyankes lain. Rumah sakit ini mengaku membeli vaksin dari CV Azka Medika sejak November 2015 sampai dengan Juli 2016. Vaksin palsu yang diberikan kepada korban ditengarai sebanyak delapan jenis.

 

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement