REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Dakwah MUI, KH Cholil Nafis mengatakan, tujuan orang datang ke padepokan Dimas Kanjeng Taat Pribadi adalah untuk mencari kekayaan, bukan belajar agama. Karena, jika ingin belajar agama, seharusnya mereka mencari guru yang memiliki latar belakang pendidikan agama yang jelas, akhlak baik, yang menjadi contoh masyarakat.
"Terkait kasus hukum yang membelit Dimas Taat, kami menyerahkan kepada pihak kepolisian, tetapi untuk ritual dan ajarannya saat ini masih dikaji apakah ini sudah skala nasional atau masih di tahap kabupaten/kota saja," jelas dia kepada Republika.co.id, Senin (3/10).
Melihat adanya penggandaan uang dan mengalami penipuan, maka ini seharusnya dapat dijadikan pelajaran. Ketika ingin kaya maka harus jalani prosesnya, hasilnya akan seperti apa itu bagian dari akibat. Sekarang banyak sekali masyarakat yang menggunakan jalan pintas untuk kaya, dan ini yang tidak dibenarkan.
"Kekayaan bukanlah satu-satunya cara untuk hidup bahagia, meskipun kebahagian juga tidak menutup kemungkinan karena memiliki kekayaan," ujar dia.
Penggandaan uang tidak sesuai dengan syariat Islam, karena yang berhak menggandakan uang secara resmi adalah perusahaan pemerintah milik negara, Peruri. Namun, pihaknya sedang menyelidiki ritual penggandaan uang yang dilakukan Dimas Taat ini apakah menggunakan trik sulap atau praktik perdukunan.
Jika menggunakan praktik perdukunan, biasanya melalui jin kafir dan ada tumbal untuk mendapatkannya. Mendapatkan uang tanpa ada kerja dan proses nyata, maka itu melanggar syariat Islam, karena tidak tahu datangnya uang dari mana.
Karena dalam investigasi, MUI menemukan adanya jimat yang digunakan dan diperjualbelikan. Selain itu, ada bacaan-bacaan yang diajarkan di padepokan tersebut. Mereka sedang membahas apakah bacaan tersebut adalah bacaan biasa atau menyimpang dari ajaran agama.
Menurut Kyai Cholil, bacaan-bacaan yang diberikan merupakan kamuflase saja agar terlihat seperti ada pengajian. Padahal mereka hanya duduk-duduk saja.