Selasa 27 Sep 2016 18:47 WIB

UU Soal Penggusuran akan Diuji Materi

  Alat berat sudah berada di lokasi penggusuran di kawasan Kampung Melayu Kecil, Bukit Duri, Jakarta, Selasa (27/9).
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Alat berat sudah berada di lokasi penggusuran di kawasan Kampung Melayu Kecil, Bukit Duri, Jakarta, Selasa (27/9).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- LBH Jakarta mendampingi warga korban penggusuran di kawasan Papanggo, Jakarta Utara, dan Duri Kepa, Jakarta Barat, untuk mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang PrP Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya.

Warga Papanggo mengalami penggusuran paksa pada tahun 2008, sementara warga Duri Kepa mengalami penggusuran paksa pada tahun 2015. Keduanya digusur secara sepihak oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tanpa ganti rugi apapun dan didampingi oleh LBH Jakarta untuk menuntut hak-hak mereka.

“Undang-Undang ini melanggar hak konstitusional korban penggusuran karena memberikan wewenang kepada pemerintah untuk bertindak diskriminatif terhadap warganya sendiri pada saat melakukan penggusuran, yaitu klaim sepihak tanpa perlu menunjukkan sertifikat dan proses musyawarah,” ujar Pengacara Publik LBH Jakarta Alldo Fellix Januardy dalam keterangan tertulis, Selasa (27/9).

LBH Jakarta mengajukan pembatalan terhadap Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 6 Undang-Undang Prp Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya karena keseluruhan pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal-pasal di atas, papar Alldo, mengakibatkan hilangnya hak konstitusional warga negara yang seharusnya dijamin dan dilindungi oleh pemerintah. Hak tersebut, antara lain hak atas tempat tinggal, hak atas rasa aman, hak atas perlindungan harta benda, hak atas pekerjaan yang layak, dan hak atas pendidikan dari anak-anak warga yang terpaksa putus sekolah. "Ini tentu sama sekali tidak manusiawi,” tambah dia.

Pengacara Publik LBH Jakarta, Tigor Gempita Hutapea menambahkan pasal-pasal tersebut sudah tak relevan lagi. Sebab dibuat pada kondisi darurat.

“Ini adalah ketentuan perang yang sesungguhnya sudah tidak relevan lagi. Undang-Undang ini diterbitkan oleh pemerintah pada masa itu untuk kepentingan pertahanan dari maraknya pemberontakan pada masanya ketika negara menetapkan situasi keadaan bahaya,” papar dia. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement