Senin 26 Sep 2016 11:48 WIB

Evaluasi Sepekan PON XIX Jabar

Ahmad Heryawan
Foto: Republika/Edi Yusuf
Ahmad Heryawan

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Heryawan (Ketua Umum PB PON XIX 2016, Gubernur Jawa Barat)

Sepekan lebih sudah pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) XIX 2016 Jawa Barat setelah dibuka dengan konsep perpaduan video mapping dan budaya Jawa Barat akhir pekan lalu di Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GLBA) yang mencuatkan trending, baik di media massa/media sosial. Sebagaimana ditegaskan Menpora Imam Nahrawi dalam jumpa pers di Media Center Utama, Jumat 23 September 2016 siang, terlepas ada kekurangannya (yang disebutnya sebagai riak-riak kecil), namun secara keseluruhan PON XIX dalam sepekan ini berjalan sangat lancar dan baik.

“Kinerja PB PON layak diapresiasi karena telah maksimal merealisasikan terselenggaranya pesta olahraga empat tahunan ini. Panitia luar biasa, ada kemampuan menangani meski di luar kewenangan namun bisa ditangani dengan baik," kata Menpora. Pun demikian, kami tidak ingin berpuas diri, apalagi jemawa. Dalam konteks komunikasi publik, terlepas dari semua apresiasi dari pimpinan tertinggi bidang keolahragaan di Indonesia di atas tadi, beberapa aspirasi publik telah kami terima dan bisa mudah dijelaskan.

Pertama, tak benar bahwa helatan ini menghambur-hamburkan uang rakyat, khususnya APBD Jabar, dengan angka demikian besar. Malah bisa dipastikan, anggaran yang keluar adalah yang terhemat dengan kualitas pekerjaan terbaik yang pernah ada. Pemprov Jabar sejak APBD 2012, mengalokasikan dana akumulatif Rp 2,3 triliun. Ini untuk dua event, yakni PON XIX pada 17-29 September 2016 dan Peparnas (Pekan Paralimpik Nasional) XV pada 15-24 Oktober nanti.

Jadi, selama lima tahun, kami sisihkan dari APBD hingga mencapai angka sebesar itu. Dengan cara demikian, maka proses pembangunan tetap berjalan dengan baik karena manajemen anggaran dilakukan secara bertahap dan proporsional. Hal inilah yang membuat PON tidak serta merta merusak tatanan, menyulitkan proses pembangunan itu sendiri. Terbukti, setidaknya mengacu data BPS, parameter pembangunan seperti Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Jabar konsisten naik.

Selain dari APBD, kami memperoleh hibah dari APBN sebesar Rp 130 miliar dan juga sokongan sponsor yang diestimasikan sekitar Rp 50 miliar sehingga total pengeluaran berkisar Rp 2,4 triliun. Sepintas lalu sangat besar, tapi mari kita komparasikan.

Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara dalam artikel berjudul “PON 2012 - Antara prestasi, prestise dan frustrasi” pada 12 September 2016 lalu menyebutkan, PB PON XVII 2008 di Kalimantan Timur mengeluarkan anggaran Rp 4,6 triliun dan PB PON XVIII 2012 di Riau Rp 2,2 triliun. Pada PON Jabar, dana tersebut untuk penyelenggaraan 44 cabang olahraga dengan arena pertandingan 16 kota/kabupaten. Di PON Kalimantan Timur diselenggarakan 43 cabang di enam kota/kabupaten saja sementara PON Riau diselenggarakan 39 cabang di sembilan kota/kabupaten.

Sebagaimana terjadi di provinsi lainnya, Jawa Barat selepas PON akan memiliki legacy yang signifikan dalam pengembangan SDM masyarakat di bidang olahraga. Sebut saja fasilitas baru seperti tiga stadion standar FIFA di Bogor, serta Kota dan Kab. Bekasi, dua sarana olahraga (SOR) terpadu modern (Arcamanik dan Jatinangor), pacuan kuda standar internasional (Legokjawa, Pangandaran), venue BMX di Ciamis, dan Komplek Renang Jalak Harupat.

Belum dengan dana yang Pemprov Jabar anggarkan untuk perbaikan dan penyempurnaan venue lama seperti Velodrome Munaif Saleh di Cimahi, Sporthall Universitas Pendidikan Indonesia di Kota Bandung, venue dayung di Cipule, Karawang, GOR Saparua di Kota Bandung, dan seterusnya. Maka dari itu, anggapan bahwa PON konsumtif adalah tidak benar.

Ini adalah bentuk investasi pembangunan sumber daya manusia (SDM) Jabar, terutama di bidang olahraga, yang boleh jadi tidak mudah dilakukan sekiranya tidak ada pelaksanaan PON. Maka itu, sebagai konklusi awal, dana PON Jabar menjadi lebih irit, berkualitas, dan berdampak banyak. Jika dibandingkan PON Kaltim tahun 2008, alokasi anggaran lebih rendah namun kota dan cabang olahraga lebih banyak di Jabar.

Juga jika dibandingkan dibandingkan PON Riau, kota dan cabang juga lebih sedikit sehingga bea Rp 2,4 triliun tahun ini jelas lebih murah dengan Rp 2,2 triliun PON Riau (dengan mempertimbangkan rata-rata nilai inflansi tahunan Indonesia 2005-2015 sebesar 8,5 persen versi BPS). Bahkan, total biaya PON Jabar sejatinya hanya kisaran 24-25 persen jika dibandingkan rencana kebutuhan PON 2020 di Papua sebesar hampir Rp 10 triliun. Sarana dan prasarana saja butuh Rp 8 triliun, dan sisanya untuk pertandingan (sumber: Tempo.co edisi 21 Juni 2016).

Presiden Jokowi, seperti diberitakan Republika 9 Mei 2015, ketika melakukan peletakan batu pertama sarana PON 2020 di Kampung Harapan, Distrik Sentani Timur, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua, menegaskan, dana sebesar itu akan disokong pemerintah pusat agar menjadi awal kebangkitan olahraga di Indonesia Timur. Untuk itulah, isu yang penting saat ini adalah bukan soal kegiatan yang konsumtif. Yang terpenting pada saat ini, bagi kita, pemerintah dan masyarakat Jawa Barat, untuk bersama mengawasi legacy arena pertandingan agar makin optimal dimanfaatkan dalam membangun SDM Jabar.

PON Kacau?   

Kedua, isu yang banyak menggelinding dari publik adalah PON kacau. Frase ini menjadi sumir dan menjadi tidak seimbang karena gulirannya terjadi hanya terpantul dari satu kejadian yakni pertandingan semifinal polo air Jabar vs Sumsel, pekan lalu. Padahal jauh lebih banyak pertandingan berjalan lancar tanpa protes kontingen. 

Ada beberapa variabel yang bisa dijelaskan. PB PON sejatinya hanya bersifat mengatur administrasi PON. Sementara terkait teknis di lapangan, terutama wasit dan tehnical delegate adalah di luar pembinaan PB PON, karena domain pengurus besar olahraga dan KONI pusat. Dari sisi proses harian, seluruh ketua kontingen (Chief De Mission/CDM) rutin melalukan pertemuan tiap pagi guna membahas seluruh proses yang terjadi. Ruang rapat CDM ini disandingkan Ruang Dewan Hakim dan Ruang Panwasrah (Pengawas dan Pengarah) dari KONI pusat.

Artinya, seluruh masukan apalagi protes sudah disediakan medium yang sangat luas sekaligus komprehensif. Sekira tidak tuntas di ruangan CDM, maka tiap provinsi  bisa mengajukan banding ke perlengkapan PON lebih tinggi yakni Dewan Hakim dan Ruang Panwasrah. Kemudian terkait kehadiran Pangdam III Siliwangi sebagai Ketua Kontingen, ini pun sebenarnya hal yang lumrah. Jawa Barat saat PON Kalimantan Timur juga menunjuk Pangdam III Siliwangi sementara PON Riau dipimpin oleh Wakil Gubernur Jawa Barat.

Hal serupa dilakukan kontingen lain, dan ini sudah terjadi sejak lama. Unsur muspida provinsi-lah yang kerap menjadi ketua kontingen. Apalagi, dari sisi kronologis, Pemprov Jabar dan PB PON tidak pernah mengintervensi karena seluruhnya diberikan kepada KONI daerah. Dan, KONI Jabar sebelum pelaksanaan PON XIX Jabar, dari seluruh pengurus inti KONI dan atau Pengprov (Pengurus Provinsi) cabang olahraga, sepakat menunjuk Pangdam III Siliwangi dengan berbagai pertimbangan-pertimbangan logis di dalamnya.

Karena itulah, keterlibatan TNI menjadi hal yang lazim dan wajar dalam sebuah pelaksanaan PON. Sekiranya terdapat riak kecil sebagaimana disampaikan Menpora tadi, seluruhnya sudah selesai pada keesokan harinya dengan proses CDM/Dewan Hakim/Panwarah yang ditempuh. Kesimpulannya, dengan optimalisasi anggaran lebih baik dari penyelenggaraan PON sebelumnya bahkan sesudahnya, PB PON khususnya dan Pemprov Jawa Barat umumnya sudah memfasilitasi PON terbaik. Bukan hanya bagi kontingen, namun juga masyarakat Indonesia. Insya Allah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement