Jumat 23 Sep 2016 21:15 WIB

'Agama Jangan Dipahami Hanya Kulitnya'

Agama
Foto: playbuzz.com
Agama

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Memahami agama Islam jangan hanya kulitnya atau secara tekstual saja, tetapi harus masuk ke wilayah isi agama itu sendiri (kontekstual) sehingga pemahaman agama Islam itu jadi komprehensif dan keseluruhan. Itu penting dalam membendung paham radikal terorisme, yang selama ini banyak menggunakan ayat-ayat Alquran dan hadis yang dipahami secara dangkal, malah lebih sering maknanya diputarbalikkan.

"Kelompok radikal selama ini hanya mengandalkan kulitnya saja dan memutarbalikkan maknanya untuk melancarkan propagandanya, bahkan mengkafirkan orang yang tidak sepaham. Jelas pemahaman secara parsial itu bahaya karena bisa menimbulkan kelompok radikal lebih besar," ujar Rois Syuriah PBNU, KH Zakky Mubarak, dalam siaran persnya di Jakarta, Jumat (23/9).

Sesuai kaidahnya, lanjut Kiai Zakky, agama Islam terutama ayat-ayat Alquran dan hadis pemahamannya harus lurus dan tidak seenaknya. Artinya, ada kaidah yang harus mengarahkan pada kebaikan dan membawa kemaslahatan pada umat. Karena itu, untuk memahami agama Islam wajib belajar pada ahlinya yaitu kiai, ulama, ustaz, guru, dan da'i. Tapi ahli itu pun harus jelas track record-nya, dimana pendidikannya dan latar belakangnya.

"Jangan belajar agama dengan membaca sendiri atau belajar dari teman. Juga jangan hanya kursus atau belajar agama seminggu dua minggu tapi sudah merasa alim itu bahaya. Agama Islam itu perlu didalami secara berkesinambungan sehingga agama itu jadi komprehensif dan secara keseluruhan, tidak parsial," ujar Dewan Pakar Masjid Agung Sunda Kelapa ini.

Kiai Zakky mengaku memiliki pengalaman berdialog dan berkumpul dengan kelompok radikal untuk memilih dan memilah ayat-ayat Alquran dan hadis. Di situ mereka menyampaikan ayat dan hadis  yang dianggap cocok dengan doktrin mereka, tapi yang tidak cocok mereka sembunyikan. Saat dialog itu, Kiai Zakky memberikan pemahaman yang benar dengan menggunakan ayat-ayat serta hadis yang ringan agar seimbang. Dari situ, sebagian mereka bisa berubah.

Selain itu, dari pengalamannya lama membina remaja masjid, remaja kampus, muslim kampus, Kiai Zakky juga memberikan pemahaman yang sama beserta penjelasan yang gamblang tentang makna ayat-ayat Alquran dan hadis. Dari situ terjadi dialog sehingga mereka mengerti mana yang benar dan mana yang salah.

"Saya ambil contoh, orang yang tidak shalat itu dianggap kafir. Tapi ada hadis lain yang menegaskan itu bukan kafir non Muslim, tetapi umat Muslim mengingkari salah satu kewajiban islam. Saya jelaskan bahwa yang membedakan Muslim dan kafir itu bukan di situ, tapi dari kalimat syahadat. Kalau orang bersyahadat itu pasti Muslim, tapi kalau tidak bersyahadat itu non Muslim. Kalau urusan ibadah itu urusan dia dengan Allah. Itu menjadi gambaran bahwa masih banyak orang tidak tahu sehingga banyak yang terpeleset," ujar Imam Besar Masjid Arif Rahman Hakim Universitas Indonesia itu.

Di sinilah, lanjut Kiai Zakky, peran ulama sangat penting. Artinya, ulama harus proaktif memberikan pemahaman kepada umat, jangan seperti dulu dimana para ulama lebih banyak tawadhu (rendah hati) dan menunggu orang bertanya.

"Ulama, guru, ustaz, da'i harus proaktif untuk menyelamatkan umat dari serbuan paham yang salah. Sudah bukan masanya ulama seperti dulu yang lebih banyak menunggu. Satu lagi, disamping berdakwah, ulama harus menulis melalui situs, media sosial, dan media massa," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement