REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Komunikonten, Hariqo Wibawa Satria, mengatakan Indonesia harus memiliki mesin pencari seperti Google, jika tidak ingin selamanya tergantung kepada Google atau mesin pencari sejenisnya.
"Kita tidak anti Google dan mesin pencari lainnya, justru kita termotivasi. Jika Larry Page dan Sergey Brin bisa mengapa si Buyung, si Upik, si Ujang dan lain-lainnya tidak bisa. Motivasi lainnya adalah karena mereka tidak bayar pajak ke Indonesia, padahal keuntungannya dari iklan besar sekali," jelasnya dalam diskusi di Jakarta Pusat.
Mengenai pendidikan media sosial untuk masyarakat, Hariqo menjelaskan sejak ada internet, masyarakat yang awalnya sebagai penikmat konten sekarang jadi produsen. Semua konten yang diproduksi koran, televisi, radio, media online, dan lain-lainnya juga bisa diproduksi oleh masyarakat.
Ia melanjutkan, di google dan Medsos ada banyak tulisan, foto, meme, film pendek, infografis, motion grafis, bahkan animasi yang diproduksi masyarakat. Menurutnya sudah saatnya Indonesia yang mengatur konten tersebut.
"Dulu, tidak jarang kita mengkritik media yang menyajikan konten tidak mendidik seperti pornografi, kekerasan, memecah belah persatuan, dan lainnya. Sekarang, dengan hadirnya Medsos, kita dituntut menjalankan kritik-kritik yang pernah disampaikan itu. Di Era Medsos, setiap kita adalah kantor berita, setiap kita adalah pemimpin redaksi bagi akun Medsos kita," katanya.
Hariqo melihat ada tiga isu utama terkait media sosial di Indonesia, yakni keamanan, kreativitas, dan kolaborasi. Isu keamanan yang paling banyak disorot adalah keamanan pengguna media sosial. Kasus pemerkosaan, penipuan, pornografi banyak dialami pengguna Medsos.
"Isu keamanan lainnya adalah, minimnya pengetahuan pengguna Medsos tentang apa yang tidak boleh dilakukan di media sosial," jelas pria asal Bukittinggi ini.
Narasumber lainnya, Agus Sudibyo, Mantan Anggota Dewan Pers menjelaskan bahwa media baru seperti Google, Facebook, Twitter, Yahoo, dan lain-lain tidak murni sosial, mereka juga berbisnis. Bisnisnya ini bersumber dari data pengguna yang diolah menjadi sebuah data, kemudian data itu dijual kepada pengiklan.
"Media nasional kita di Indonesia tentu dirugikan, seperti koran cetak, online, dan lain-lain. Pertama, jatah iklan mereka berkurang oleh media baru seperti Google dan lainnya. Kedua, mereka juga dibuat cemburu, karena Google tidak bayar pajak, sementara media-media kita membayar pajak, sekarang ini tidak ada kesetaraan," jelasnya.