REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Google Indonesia menolak pemeriksaan pajak oleh pemerintah Indonesia. Pakar keamanan cyber Pratama Persadha menjelaskan sebenarnya masalah Google tidak hanya soal pajak. Menurutnya lebih jauh lagi, Google juga punya kerentanan keamanan, khususnya isu program PRISM.
“Program PRISM ini tujuannya mengumpulkan informasi penting dari seluruh dunia. Karena informasi kini banyak lewat internet, maka raksasa teknologi khususnya dari AS dipaksa membuka akses oleh intelejen AS seperti NSA,” jelasnya dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Selasa (20/9).
Terlepas dari isu spionase tingkat tinggi, Pratama menambahkan bahwa ini momentum yang bagus bagi pemerintah untuk mengembangkan aplikasi dan layanan Over The Top (OTT) lokal. Pemerintah bisa memprogramkan aplikasi yang bisa dipakai umum maupun khusus untuk pejabat penting negara.
“Dengan kondisi ini seharusnya pemerintah bisa memprioritaskan untuk membangun aplikasi maupun OTT lokal. Efeknya jelas, pemberdayaan SDM lokal, pemerintah lebih mudah menarik pajak dan ada kemandirian teknologi. Selain itu, seharusnya lebih aman, karena server di tanah air dan langsung diawasi,” terang Chairman lembaga riset keamanan cyber CISSReC (Communcation and Information System Security Research Center) ini.
Menurut Pratama, Cina bisa menjadi contoh baik dalam menghadapi Google. Karena ada ancaman instabilitas bila Google bebas di negeri tirai bambu tersebut, maka layanan Google maupun media sosial seperti Facebook harus dilarang di sana.
“Cina memberikan alternatif pada warganya seperti Baidu, Weibo dan QQ. Ini membuat kebijakan melarang Google dan Facebook tidak terlampau berpengaruh di negeri itu,” terangnya.
Pratama menilai SDM Indonesia sudah banyak diakui dunia internasional. Seharusnya tidak sulit bagi pemerintah untuk membangun OTT lokal. Hanya dibutuhkan kebijakan dan bantuan prasarana yang mendukung terwujudnya OTT lokal.