Selasa 20 Sep 2016 01:40 WIB

BNPB: Longsor Bencana Paling Menelan Korban Jiwa

Rep: Qommaria Rostanti/ Red: Yudha Manggala P Putra
Jalan Cigedang, Desa Kawitan yang merupakan jalur utama penghubung Kecamatan Salopa dengan Cikatomas di Kabupaten Tasikmalaya terputus akibat longsor pada Sabtu (17/9) dini hari. (Republika/Fuji E Permana)
Foto: Republika/Fuji E Permana
Jalan Cigedang, Desa Kawitan yang merupakan jalur utama penghubung Kecamatan Salopa dengan Cikatomas di Kabupaten Tasikmalaya terputus akibat longsor pada Sabtu (17/9) dini hari. (Republika/Fuji E Permana)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anomali suhu muka laut yang hangat di sekitar perairan Indonesia berkontribusi menambah tingginya curah hujan di Sumatra dan Jawa bagian barat. Hal inilah yang menyebabkan hujan berintensitas tinggi sering terjadi di sebagian wilayah Indonesia.

Akibatnya banjir dan longsor meningkat. Selama periode 2016 ini, telah terjadi 1.569 kejadian bencana di Indonesia, di mana 265 orang tewas, 310 orang luka-luka, 2,1 juta jiwa menderita dan mengungsi, serta 23.048 rumah rusak. "Dari total kejadian bencana tersebut, banjir dan longsor adalah yang paling dominan," ujar Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho dalam keterangan tertulisnya, Senin (19/9).

Banjir adalah jenis bencana yang paling banyak kejadiannya selama 2016, yaitu 554 kejadian dan menimbulkan 72 orang tewas, 93 orang luka-luka, dan 1,9 juta jiwa menderita dan mengungsi. Namun longsor adalah jenis bencana paling mematikan. Dari 349 kejadian longsor selama 2016, longsor menyebabkan 130 orang tewas, 63 orang luka dan 18.728 jiwa mengungsi dan menderita.

Seperti halnya bencana di 2014 dan 2015, longsor adalah bencana yang paling menelan korban jiwa. Ada 40,9 juta jiwa masyarakat Indonesia yang terpapar dari bahaya longsor sedang hingga tinggi. Artinya, mereka bertempat tinggal di daerah bahaya longsor yang dapat terjadi kapan saja, umumnya saat terjadi hujan lebat.

Sutopo menyebut kemampuan mitigasi masyarakat tersebut, baik mitigasi struktural maupun non-struktural masih terbatas. Di satu sisi ancaman longsor makin meningkat seiring dengan meningkatnya curah hujan, baik intensitas maupun durasi hujan.

Untuk mengantisipasi hal itu, BNPB bekerja sama dengan Universitas Gadjah Mada (UGM) membangun 72 unit sistem peringatan dini longsor selama tiga tahun terakhir yaitu sejak tahun 2014 hingga 2016. Pada 2014, atas perintah Presiden Joko Widodo, pasca longsor di Banjarnegara, BNPB dan UGM memasang 20 unit sistem peringatan dini longsor. Kemudian dilanjutkan 35 unit pada tahun 2015 dan 17 unit pada 2016.

"Sebagian besar sistem peringatan dini longsor tersebut dipasang di Jawa yang memiliki risiko tinggi longsor seperti di Kabupaten Banjarnegara, Magelang, Kulon Progo, Banyumas, Cianjur, Bandung Barat, Trenggalek, Sukabumi, Bogor, Sumedang, Wonosobo, Garut dan sebagainya," kata Sutopo. Alat juga dipasang di daerah lain di luar Jawa seperti di Kabupaten Nabire, Aceh Besar, Buru, Lombok, Bantaeng, Sikka, Kerinci, Agam, Kota Manado dan lainnya.

Sistem peringatan dini longsor tersebut meliputi tujuh subsistem yang dibangun meliputi sosialisasi, penilaian risiko, pembentukan kelompok siaga bencana tingkat desa, pembuatan denah dan jalur evakuasi, penyusunan prosedur operasi standard pemantauan dan gladi evakuasi, serta membangun komitemen pemda dan masyarakat. Jadi masyarakat setempat dilibatkan secara langsung dalam proses pembangunan sistem peringatan dini longsor.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement