Selasa 20 Sep 2016 06:00 WIB

Buta di Sini, Buta di Sana (II)

Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID, Posisi umat yang hina ini yang telah lama dimainkan pihak lain tidak akan berubah selama mereka tidak membuka mata lebar-lebar untuk melihat dan mengoreksi keadaan diri secara jujur dan berani, kemudian siap bangkit dengan penuh percaya diri. Ucapkan selamat tinggal kepada borok-borok sejarah masa silam yang menyebabkan kita terkapar berkeping-keping seperti sekarang ini. Bahwa untuk mengubah sikap mental yang sudah karatan selama berabad-abad memang sangat sukar, saya setuju. Tetapi apakah ada cara lain untuk bangkit secara sejati untuk jadi umat yang gagah dan bermartabat tinggi?

Penyair Iqbal sudah sejak abad ke-19 berupaya melalui bahasa puisi yang tajam bagaimana menyadarkan umat agar bangkit dari kejatuhan melalui persatuan dan persaudaraan. Puisinya memang dihafal dan dibaca, tetapi perubahan mendasar tidak kunjung menjadi kenyataan. Puisi tinggal puisi, kelakuan tidak juga membaik. Pakistan yang mengklaim Iqbal sebagai miliknya, malah nyaris jagi negara gagal. Ikuti bait ini:

Sekalipun satu keluarga, kita merasa asing satu sama lain,

Ikat kembali dedaunan yang berserakan ini,

Hidupkan lagi hukum cinta!

(Lih. M. Moizuddin, The World of Iqbal. Lahore: Iqbal Academy, 1982, hlm. 34).

Tengoklah apa yang sedang berlaku di Turki, sesama golongan santri sedang adu jotos, etnis Kurdi pun diperangi, sukar sekali menyatu. “… kita merasa asing satu sama lain,” tegur Iqbal. Dedaunan itu tetap saja berserakan, hukum cinta sudah kehilangan tenaga.

Kemudian layangkan pulalah pandangan pada apa yang sedang berlaku di Suriah, Irak, Afganistan, Palestina, Nigeria, dan di belahan bumi lain. Perpecahan akibat gesekan kesukuan telah melumpuhkan hukum cinta. Apakah kita masih saja berhak meneriakkan slogan sebagai “umat yang terbaik yang ditampilkan untuk manusia?” Umat terbaik tidak mungkin diobok-obok pihak lain penaka binatang ternak. Itu belum lagi kita bicara tentang nasib TKI Indonesia yang menyabung nyawa di negeri jiran, kemudian diusir karena surat-surat perjalanan tidak ada. Tidak jarang yang terkapar dalam perjalanan mengais rejeki.

Tentu ada saja titik-titik terang di ranah-ranah tertentu yang tidak dihambat oleh sekte-sekte teologis. Gerakan Dompet Dhu’afa di Indonesia, misalnya, adalah salah satu terobosan untuk memperbaiki kondisi umat. Begitu juga gerakan Lazis Muhammadiyah dan MPM (Majelis Pemberdayaan Masyarakat) PP Muhammadiyah telah melakukan sesuatu yang patut dipuji bagi kepentingan masyarakat yang terpinggirkan. Masalahnya, karena mereka yang terpinggirkan itu merupakan gelombang besar, maka jangkauan gerakan-gerakan sosial kemanusiaan ini masih terbatas. Semestinya negara yang harus berbuat lebih banyak karena semuanya itu menjadi kewajiban konstitusionalnya.

Tetapi hampir semua negara di bumi Muslim, karena asyik bermain di panggung kekuasaan, sering benar tidak hadir membela rakyatnya yang tertindas dan kesakitan. Gerakan musim semi Arab yang gagal itu adalah contoh dramatis yang banyak membawa korban, sedangkan penguasa yang masih bertahan tetap saja tidak punya kepekaan untuk melancarkan perubahan ke arah tegaknya keadilan dan kebersamaan, karena agama penguasa itu adalah nafsu kekuasaan yang dibalut dengan baju teologis.

Jutaan pengungsi Suriah yang lari ke berbagai belahan bumi rupanya belum cukup kuat untuk menggugah batin elite Arab untuk mengoreksi kesalahan politik mereka yang anti keadilan. Warisan sengketa lama politik kesukuan mereka seperti tidak lagi mampu ditembus Islam sebagai agama yang resmi mereka peluk. Puak sunni dan syi’ah sama-sama terlibat dalam dosa sejarah itu. Situasi buruk ini akan tetap saja berlangsung selama mereka tidak patuh mengikuti logika Alquran dalam surat al-Ra’d di atas.

Akhirnya, agar tidak “buta di sini dan tidak buta di sana,” bagunan keislaman dan keimanan kita perlu dikoreksi dan dipertanyakan kembali, apakah sudah benar dan autentik diukur dengan benang merah Alquran dan missi kenabian! Dan sentana sisa-sisa keikhlasan dalam beragama masih terpelihara dalam diri kita, mestinya mengapa sulit amat mengikat kembali “dedaunan yang berserakan,” untuk meminjam ungkapan Iqbal di atas.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement