REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerhati isu terorisme global sekaligus Direktur Yayasan Prasasti Perdamaian Noor Huda Ismail menyatakan radikalisme harus diselesaikan menggunakan pendekatan sosial, bukan kekerasan.
Menurutnya, kekerasan hanya akan memicu perkembangan aksi radikal di Indonesia.
“Seluruh radikalisme yang ada di Indonesia itu dilatarbelakangi oleh rasa dendam. Sekarang ini, ada beberapa aksi penyelesaian yang menggunakan kekerasan, misalnya polisi berhasil menangkap pemimpin kelompok teroris, sebelum masuk penjara masih hidup, setelah masuk penjara mati,” ujar Huda kepada Republika.co.id usai diskusi dan pemutaran film Jilbab Selfie, kerja sama alumni International Visitor Leadership Program (IVLP) dan Jurusan HI Universitas Binus, Kamis (15/9).
“Kemudian muncul rasa dendam di diri anggota-anggotanya, yang akhirnya terus menerus menjadi motif radikalisme itu sendiri.”
Lelaki yang kini sedang melanjutkan program PhD di Australia, meyakini perlu gunakan pendekatan alternatif untuk memutuskan siklus tersebut. Salah satunya dengan memberikan kesempatan kepada mantan narapidana untuk kembali di kehidupan bermasyarakat agar meninggalkan jalan kekerasan.
“Mereka sejak lahir enggak langsung jadi teroris, ‘kan? Makanya, dibutuhkan pendekatan ini.”
Baca juga, Waspadai Kelompok Radikal Kecil di Indonesia.
Bersama dengan Yayasan Prasasti Perdamaian, Huda telah membuka restoran di Semarang sebagai lapangan kerja bagi mantan narapidana kasus terorisme, Yusuf. Menurutnya, dengan bekerja di restoran, Yusuf dapat kembali ke masyarakat.
“Ngobrol sama banyak orang memperluas pemikiran napi itu, sehingga ia jadi kritis terhadap informasi yang ia dapat. Sekarang ia malah benci dan tidak setuju dengan konsep-konsep jihad yang radikal,” papar Huda.