REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal DPP PAN Eddy Soeparno menilai sikap beberapa bank di Singapura yang membuat laporan transaksi mencurigakan atau suspicious transaction report (STR) ke Commercial Affairs Department (CAD) atau unit kepolisian yang menangani kasus kejahatan finansial di Singapura, merupakan indikasi kuat jelas atas upaya penjegalan program amnesti pajak.
"Alasan beberapa bank di Singapura melakukan STR cenderung over reacting (reaksi berlebih) dan tidak relevan," kata Eddy kepada wartawan di Jakarta, Jumat (16/9).
Eddy menjelaskan seharusnya sebuah bank berkewajiban memverifikasi dan meneliti latar belakang dan identitas nasabahnya ketika membuka rekening, termasuk asal usul dana yang akan ditempatkan.
Proses tersebut, lanjutnya, disebut KYC (know your lient), yaitu proses standar dan baku di dunia perbankan guna mengetahui keabsahan dana yang ditempatkan di sebuah bank.
"Jika bank tidak mampu meyakinkan dirinya tentang sumber dana dari nasabahnya, sudah sewajarnya bank yang bersangkutan menolak dana tersebut," ujarnya.
"Pertanyaannya sekarang, mengapa dana yang sudah mengendap di berbagai bank di singapura, bahkan ada yang sudah belasan dan puluhan tahun, sekarang ini masuk kategori transaksi 'mencurigakan', ketika nasabahnya melaporkan harta sebagai bagian dari program amnesti pajak? Artinya, bank yang bersangkutan tidak melaksanakan proses KYC dengan baik atau bahkan mengabaikannya, demi mendapatkan dana dari nasabah Indonesia," jelasnya.
Eddy menilai tindakan tersebut adalah bentuk kekhawatiran Singapura karena akan kehilangan uang dari nasabah asal Indonesia, sehingga mencoba menghalangi partisipasi amnesti pajak, apalagi repatriasi aset nasabahnya melalui pelaporan STR yang dimaksud.
"Logikanya, para pejabat bank di Singapura perlu diperiksa juga karena menyetujui pembukaan rekening bank dan menerima dana dari nasabah Indonesia yang sekarang masuk kategori 'transaksi mencurigakan'. Jangan hanya menyalahkan deposan Indonesia saja, seakan mereka menempatkan aset haram di luar negeri, tetapi pejabat banknya juga harus ditindak karena menyediakan 'karpet merah' ketika menerima ratusan triliun rupiah dana dari warga Indonesia," pungkasnya.