REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) menekankan di dalam sistem ketatanegaraan, DPR RI selaku pembuat undang-undang tidak bisa masuk di dalam ranah pembuatan peraturan. Oleh karena itu, ketentuan dalam Pasal 9A UU Pilkada yang menyebutkan KPU harus berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah dalam mengeluarkan peraturan dianggap tidak tepat.
"Pembuat undang-undang itu tidak masuk ranah membuat peraturan. Ketentuan dalam pasal 9A Undang-Undang Pilkada sudah tidak sesuai dengan sistem ketatanegaraan kita," ujar Komisioner KPU Ida Budhiarti, Jumat (16/9).
Ida mengatakan jika DPR RI selaku pembuat undang-undang khawatir KPU akan membuat norma peraturan yang menyalahi undang-undang, maka sudah ada mekanisme untuk menggugat peraturan KPU melalui Mahkamah Agung.
"Jadi tidak secara teknis mendetail begitu (KPU harus berkonsultasi)," ujar dia.
Dia menekankan KPU adalah lembaga independen yang memiliki peran strategis memastikan pemilu terselenggara secara demokratis. Tanpa keberadaan KPU selaku pembuat peraturan pemilu yang independen, maka pemilu akan diselenggarakan berdasarkan undang-undang yang merupakan produk politik.
Ida mengatakan KPU akan segera melayangkan permohonan uji materi Pasal 9A UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi. Dalam pasal 9A UU Pilkada disebutkan tugas dan wewenang KPU adalah menyusun dan menetapkan peraturan KPU serta pedoman teknis pemilihan setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah dalam rapat dengar pendapat yang keputusannya mengikat.
Bunyi kata mengikat dalam pasal itu dipandang mengganggu independensi KPU selaku lembaga independen penyelenggara pemilu.
Kalangan masyarakat sipil sebelumnya telah mengajukan gugatan uji materi terhadap pasal tersebut, namun MK memutuskan menolak gugatan tersebut karena pengajuan gugatan tidak dilakukan pihak yang memiliki kedudukan hukum (legal standing). Akhirnya KPU kini berencana maju mengajukan gugatan tersebut.