REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menyatakan Perjanjian Paris dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) PBB tentang Perubahan Iklim (Conference of Parties/COP) ke-21 segera diratifikasi menjadi undang-undang. "Untuk ratifikasi, kami akan menyerahkan rancangannya kepada parlemen dan mendiskusikannya agar menjadi hukum. Secepatnya," ujar Siti Nurbaya, pada pembukaan Pekan Diplomasi Iklim di Pusat Kebudayaan Kedubes Prancis, Jakarta, Selasa (13/9).
Pihaknya sudah melakukan diskusi, lobi, dan beberapa kali melaporkannya ke Komisi VII dan IV DPR RI. Ia menyatakan, dunia sangat optimistis dan mengantisipasi perjanjian itu menjadi hukum di negara-negara yang menyetujuinya. Indonesia, kata dia lagi, sangat berkomitmen untuk berkontribusi melawan perubahan iklim dan menurunkan temperatur global.
Sementara itu, Uni Eropa mengingatkan implementasi Perjanjian Paris dan mengharapkan keseriusan negara anggota G20, termasuk Indonesia. "Uni Eropa berkomitmen penuh dalam mengimplementasikan Perjanjian Paris, dan kami ingin mendorong seluruh negara anggota G20 untuk melakukan hal yang sama," kata Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Vincent Guerend.
Salah satu dukungan Uni Eropa kepada Indonesia adalah Forest Law Enforcement Governance and Trade (FLEGT) yang mempromosikan reformasi tata kelola kehutanan dan memerangi penebangan ilegal untuk mengendalikan perubahan iklim melalui pengelolaan sumber daya hutan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan.
Pada 2002, jumlah kayu Indonesia yang legal hanya 20 persen, sedangkan kini lebih dari 90 persen ekspor kayu Indonesia berasal dari pabrik dan hutan yang diaudit secara independen. Melihat pencapaian tersebut, ia optimistis Indonesia dalam waktu dekat akan menjadi negara pertama yang memiliki sistem verifikasi legalitas kayu nasional (SVLK) di dunia yang sesuai dengan FLEGT. Kondisi itu, menurut dia, merupakan cerminan komitmen Indonesia dalam meningkatkan tata kelola hutan dan upaya menangani perubahan iklim.