REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim penuntut umum dari Kejaksaan Negeri Surabaya memberi bantahan atas eksepsi atau pembelaan La Nyalla Mahmud Mattalitti, yang disampaikan melalui kuasa hukumnya Aristo Pangaribuan pekan lalu.
La Nyalla sebelumnya, keberatan dengan dakwaan penuntut umum dan menyatakan pihaknya tidak dapat didakwa dan diadili di persidangan terkait penyimpangan dalam pengelolaan dana hibah Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur.
Hal ini menurut pihak La Nyalla karena dakwaan diajukan dengan memanipulasi fakta yuridis dan melanggar perintah tiga putusan Praperadilan.
"Bahwa penasihat hukum terdakwa perlu ketelitian dalam memberikan informasi agar tidak menyesatkan, yang mana penuntutan perkara a quo dan hasil penyidikan perkara tindak pidana korupsi a quo, tidak terkait dengan ketiga putusan Praperadilan yang disampaikan penasihat hukum terdakwa," kata Penuntut Umum, I Made Suarnawan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kemayoran, Jakarta Pusat, Rabu (14/9).
Hal ini kata Made, karena penyidikan perkara tindak pidana korupsi yang bersangkutan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur nomor 605/O.5/Fd.1/05/2016 tanggal 27 Mei 2016 yang dikeluarkan atas laporan masyarakat yang menilai La Nyalla tak tersentuh hukum (kebal hukum).
Sehingga setelah dilakukan penyidikan ditemukan adanya bukti permulaan yang cukup yakni minimal dua alat bukti dari fakta baru yang belum terungkap dalam penanganan perkara sebelumnya, atas nama Diar Kusuma Putra dan Nelson Sembiring.
Selain itu, Made Suarnawan menanggapi keberatan pihak La Nyalla terkait penetapan tersangka tanpa didahului pemeriksaan. Keberatan penasihat hukum terdakwa, menurutnya tidak tepat dan keliru karena tidak cermat membaca dan memahami putusan MK nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015.
"Penasihat hanya mengutip sebagian atau tidak secara utuh dengan memotong-motong puzle pertimbangan putusan MK yang hanya menguntungkan saja, sehingga membuat kabur dan menjadi informasi yang menyesatkan," kata Made.
Ia menjelaskan, sekurang-kurangnya dua alat bukti termuat dalam pasal 184 KUHAP dan disertasi dengan pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali terhadap tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan tanpa kehadirannya (in absentia). Lalu, terkait perkara tindak pidana korupsi dalam UU 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tipikor disebutkan mengenal pengadilan secara in absensia.
"Sehingga keberatan penasihat hukum terdakwa yang mengatakan penyidik belum melakukan pemeriksaan calon tersangka bertentangan dengan putusan MK tidak dapat dibenarkan, karena untuk perkara dugaan tipikor mendapat pengecualian sebab dapat diadili secara in absentia," katanya.
Sebelumnya, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur, La Nyalla Mattalitti melalui kuasa hukumnya, Aristo Pangaribuan mengajukan eksepsi atau pembelaan. La Nyalla tak terima didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum telah melakukan korupsi dana hibah Kadin Jatim sebesar Rp 1,1 miliar.
Aristo menyanggah kliennya terlibat dalam kasus tersebut. Menurutnya, bukti La Nyalla tidak terlibat dalam kasus penyelewengan dana hibah sudah dikuatkan dengan tiga kali putusan praperadilan yang menyatakan La Nyalla tidak terlibat.
"Terdapat tiga putusan praperadilan yang menyatakan bahwa penetapan tersangka kepada La Nyalla tidak sah," kata Aristo di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Jalan Bungur Besar, Kemayoran, Senin (5/9).
Menurut Aristo, perkara korupsi dana hibah Kadin Jatim tersebut tidak layak dikemukakan di pengadilan, lantaran sudah selesai oleh tiga putusan praperadilan. Apalagi, menurutnya jaksa tidak mampu menunjukan bukti-bukti baru.
"Pengadilan negeri manapun tidak berwenang mengadili perkara ini, karena La Nyalla sudah dinyatakan tidak terkait dengan penyimpangan dana hibah Kadin Jatim," ucap Aristo.
Selain itu, menurutnya surat dakwaan tidak dapat diterima. Sebab, beberapa pelanggaran terjadi dalam proses penyidikan. Maka dari itu, proses penyidikan yang tidak sah membawa konsekuensi surat dakwaan juga tidak sah.
Beberapa pelanggaran yang dimaksud Aristo adalah karena La Nyalla ditetapkan sebagai tersangka tanpa diperiksa terlebih dahulu sebagai calon tersangka. "Ditetapkan sebagai tersangka, padahal saat itu sedang tidak di Indonesia," terang Aristo.
La Nyalla didakwa melakukan tindak pidana korupsi, yakni menggelapkan dana hibah Kadin Jatim sebesar Rp 1,1 miliar. La Nyalla juga disebut telah memperkaya orang lain yaitu saksi Diar Kusuma Putra dan saksi Nelson Sembiring sebesar Rp 26.654.556.219.
Atas perbuatan ketiga orang tersebut, kata Jaksa, negara, dalam hal ini Pemerintah Provinsi Jawa Timur dirugikan sebesar Rp 27.760.133.719.