REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keputusan Menko Maritim Luhut Pandjaitan melanjutkan proyek reklamasi Pulau G di Teluk Jakarta dianggap sebagai tindakan yang melawan hukum. Pasalnya, izin proyek tersebut telah dibatalkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, akhir Mei lalu.
Deputi Pengelolaan Pengetahuan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Farid Ridwanuddin mengatakan, Luhut tidak bisa memutuskan kelanjutan reklamasi Pulau G secara sepihak dengan mengabaikan putusan PTUN.
"Meskipun Luhut berdalih pemerintah akan melakukan banding atas putusan itu, dia sudah jelas-jelas melanggar hukum karena PTUN sendiri sudah menyatakan bahwa proyek tersebut bermasalah," ujar Farid kepada Republika.co.id, Rabu (14/9).
Menurut dia, Luhut dengan keputusannya saat ini seakan sedang memperlihatkan jiwanya sebagai pengusaha, bukan negarawan. "Dari awal kami sudah tahu kemana arah kebijakan Luhut sejak dia mulai menjabat menko maritim. Keberpihakannya adalah kepada korporasi," tutur Farid.
Menko Maritim Luhut Binsar Pandjaitan sebelumnya mengatakan, proyek reklamasi Pulau G yang dikerjakan oleh PT Muara Wisesa Samudra (anak perusahaan Agung Podomoro Group) di Pantai Utara Jakarta bakal tetap dilanjutkan.
Menurut mantan jenderal itu, keputusan tersebut diambil setelah mendengarkan pandangan dari semua pihak terkait. Luhut juga berdalih, reklamasi yang sedang ditanganinya saat ini sebagai kelanjutan dari program yang sudah ada sejak era Orde Baru.
Namun, Farid menilai alasan tersebut hanya mengada-ada. Pasalnya, aturan tentang reklamasi yang diterbitkan pada zaman Orde Baru, Keppres No 52 Tahun 1995, telah dihapuskan oleh peraturan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah diubah dengan UU No 1 Tahun 2014.
"Saya melihat dalam diri orang ini (Luhut) berpadu antara kepentingan kapitalistik dan militeristik. Kalau tidak begitu, mengapa kajian tim yang dia bentuk tidak dilakukan secara terbuka atau transparan?" kata Farid mempertanyakan.