Kamis 08 Sep 2016 18:45 WIB

Sulit Atasi Banjir dan Macet Meski Jadi Presiden

 Ilustrasi banjir Jakarta
Foto: Republika/ Wihdan
Ilustrasi banjir Jakarta

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rudi Agung (Pemerhati Masalah Sosial)

Banjir besar di Jakarta pernah terjadi pada 2007 dan 2012. Banjir hebat itu, terjadi setiap lima tahun. Tetapi, sejak 2014, banjir terjadi saban tahun. Ada banyak titik banjir baru. Memasuki tahun baru 2014, banjir dahsyat terjadi. Banjir yang belum pernah terjadi di Jakarta sebelumnya.  Sampai-sampai, Balai Kota dan Istana juga banjir. Begitu pula Bunderan HI dikepung banjir.

Setelah itu, banjir semakin merebak. Beberapa kasus terjadi di luar kebiasaan banjir DKI yang biasanya jatuh pada Februari. Ada saja penyebabnya. Mulai buruknya drainase sampai tanggul-tanggul yang jebol.

Sampai pada penghujung Agustus 2016, banjir terus melanda Ibu Kota. Kawasan elit dan mobil mewah menjadi korban rendaman banjir. Luar biasa. Kondisi makin luar biasa ketika pejabat terkait justru menuding pelbagai pihak yang dijadikan sasaran kambing hitam.

Mulai cuaca, sabotase, pompa air, kabel listrik, sampai masyarakat yang menjadi korban ikut dijadikan kambing hitam. Entah berapa stok kambing hitam yang dimiliki. Bahkan, Tuhan pun ditantang. Setiap peristiwa banjir juga mengingatkan masyarakat akan ucapan yang membumi, seperti: Copras capres, ra mikir, bukan urusan saya, mudah atasi banjir dan macet jika jadi presiden, September meroket. Masyarakat teringat pula akan ucapan kata-kata kotor, umpatan, menyalahkan, dan arogansi yang menjijikkan yang disampaikan penerima warisan kekuasaan di DKI.  

Soal macet, lain lagi. Tanpa banjir, setiap hari sampai malam, macet terus terjadi. Sampai kasus dugaan korupsi TransJakarta tenggelam dan dilupakan, macet malah semakin parah. Padahal, TransJakarta yang dibeli dari uang rakyat itu, digadang-gadang mampu jadi satu solusi macet.

Faktanya, justru kasus-kasusnya yang mandek. Dugaan korupsinya, kasus TransJakarta terbakar, patah, mogok. Lagi-lagi, masyarakat yang selalu jadi korban. Kasusnya melenggang tanpa beban. Apalagi pejabat terkaitnya.

Warga yang lahir dan besar di Jakarta, sangat merasakan betul perbedaan mencolok Jakarta dulu dan kini. Mungkin, memang sesuai taglinenya: Jakarta Baru, juga, Indonesia Baru. Tagline Jokowi Ahok, itu, benar-benar manjur. Jakarta Baru: hancur. Indonesia Baru: makin amburadul.

Ironinya, teriakan dan jeritan masyarakat yang menjadi korban kebijakan di Jakarta dan Indonesia, malah memicu kebrutalan kebijakan yang lain. Dan, masih tetap dibiarkan. Aneka kebijakan yang brutal malah menjadi teror menakutkan yang dibuat pemegang kebijakan.

Mulai teror ketidakamanan transportasi, penggusuran, pajak mencekik, dan serentet kebijakan brutal yang memperlebar kerapuhan sosial. Mengubah tatatan ajeg masyarakat. Bahkan, cenderung ada upaya-upaya mengarah memancing kerusuhan. Teror kebijakan itu berjalan karena didorong bungkamnya wakil rakyat.

Tak peduli UU dan aturan hukum ditabrak. Tata kelola negara diacak-acak. Aparat makin represif bahkan dibuat seolah jadi musuh masyarakat. Bangsa ini dibawa pada fase baru: kehancuran demi kehancuran.  Dan semua, sampai hari ini, masih saja dibiarkan.

Menariknya, kehancuran juga menyentuh soal ekonomi. Mungkin, ini puncaknya. Muara masalah politik berpangkal pada masalah ekonomi. Bancakan anggaran, pencucian uang, penggeseran dana, permainan paper bodong, perusahaan abal-abal offshore, perebutan migas, dan semisalnya.

Pada akhirnya terjadi 'pat pat gulipat', dan saling sandera. Masing-masing pihak saling memegang 'kartu as' permainan dan kebusukannya. Lagi-lagi rakyat yang menjadi korbannya. Kebrutalan kebijakan pun dibiarkan. Hanya dibuat ramai sejenak, lalu tenggelam. Begitu seterusnya.

Tetapi, mungkin mereka pura-pura lupa. Tahun depan, automatic exchange of information atau AEoI, sudah diberlakukan di Indonesia. Artinya, semua transaksi keuangan akan terbuka dengan adanya audit global, terutama dengan Foreign Account Tax Compliance ACT atau FATCA.

AEoI yang diinisiasi Organisation for Economic Cooperation dan Development alias OECD, hasil kesepakatan negara yang tergabung dalam G-20. Maka, begitu lucunya ketika ledakan offshore leaks dan Panama Papers terjadi, dunia heboh. Pelaku ketakutan. Audit sudah berjalan.

Ada yang terpaksa mengundurkan diri. Lainnya lari. Tetapi, ditangkap dan dibui. Di Indonesia, malah dibuat UU Tax Amnesty untuk mencoba dilindungi. Jurus itu pun gagal, lalu menyasar rakyat kecil lagi. Meski sekarang diubah, tax amnesty menjadi bahan tertawaan dunia.

Dibuat buru-buru dengan jangka waktu tertentu. Berkejaran dengan deadline AeoI. UU Tax Amnesty itu tampak sekali menjadi aturan serampangan yang memperlihatkan kepanikan. Tak heran aturan itu digugat ke Mahkamah Konstitusi. Sungguh akrobat kebijakan yang lucu. Bahkan uang daerah digerogoti.

Untungnya, hanya beberapa hari bekerja, Menkeu Sri Mulyani sudah membuka bau busuk yang dua tahun terakhir nyaris tertutup. Sri Mulyani merobek-robek pencitraan Jokowi. Naifnya, kesalahan malah dilemparkan ke muka Sri Mulyani. Opini digiring: Sri salah. Salah karena bongkar kebobrokan?

Framing pemberitaan digiring seolah Sri yang tanggung jawab. Padahal, ia membongkar kejanggalan. APBN tidak sehat, katanya, perlu diubah. Anggaran perlu dipangkas. APBN tidak realistis. Sri jadi bulan-bulanan. Jokowi malah berlindung di punggung Sri. Soal pemangkasan anggaran daerah pun, malah jadi ajang salah-salahan antara pusat dan daerah. Menteri Sri pun jujur. Termasuk soal penundaan DAU.

"DAU hanya penundaan. Saya meminjam uang ke daerah, karena kami tidak ada uangnya," ungkap Sri Mulyani, dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran di Gedung DPR, Selasa, 30/8/2016. Demikian kutipan berita Detik, berjudul, “DAU Ditunda, Sri Mulyani: Saya Meminjam Uang ke Daerah”.

Kepanikan adanya audit global menyeluruh sejak masalah reformasi ‘98 dan kaitannya dengan rekening negara: 502 dan 506, menciptakan kesuburan korupsi dan jurang kesenjangan. Kini malah dibuat aneka kedustaan dan kebijakan-kebijakan memilukan. Selain mencipta ragam kegaduhan, juga mulai mengarah upaya kerusuhan. Untung, rakyat tak terpancing. Meski bom waktu sosial sudah ditanam dimana-mana.

Lantas, bagaimana mungkin masih ada yang berharap banjir dan macet di Ibu Kota bisa mudah diatasi, meski sudah jadi presiden. Bagaimana mungkin masih ada yang berharap Indonesia berkembang. Alih-alih memikirkan masalah rakyat, memikirkan lolos dari general cleaning sangat pusing 360 keliling.

Ending permainan di rezim ini, mungkinkah Jokowi jentel, untuk sekali saja. Beranikah mengeluarkan dektrit presiden seperti keberanian Soeharto mengundurkan diri? Ada yang bilang: semua akan lucu pada waktunya.  Sebaik-baik makar adalah makar Allah. Allahumma shalli alaa Muhammad.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement