Rabu 07 Sep 2016 19:06 WIB

Surili dalam Incaran Pemburu

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Agus Yulianto
Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan menunjukan tanda komitmennya dalam menjaga populasi Surili sebagai hewan endemik khas Jawa Barat, di Situ Patenggan, Rancabali, Kabupaten Bandung, Rabu (7/9). (Republika/Umar Muchtar)
Foto: Republika/Umar Mukhtar
Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan menunjukan tanda komitmennya dalam menjaga populasi Surili sebagai hewan endemik khas Jawa Barat, di Situ Patenggan, Rancabali, Kabupaten Bandung, Rabu (7/9). (Republika/Umar Muchtar)

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Surili (Presbytis comata) atau dalam bahasa Inggrisnya dikenal dengan grizzled leaf monkey adalah hewan jenis primata. Habitat surili ada di kawasan hutan hujan tropis primer maupun sekunder. Mulai dari hutan pantai (ketinggian 0 meter) sampai hutan pegunungan (ketinggian sampai 2.000 meter di atas permukaan laut).

Pada umumnya, warna bagian punggung (dorsal) surili dewasa berwarna hitam atau coklat tua keabuan. Pada bagian kepala sampai jambul berwarna hitam. Tubuh bagian depan (ventral) mulai dari bawah dagu, dada, perut, bagian dalam lengan, kaki dan ekor berwarna putih. Warna kulit muka dan telinga hitam pekat agak kemerahan, warna iris mata coklat gelap dan warna bibirkemerahan.

Pada bayi surili yang baru llahir, tubuhnya berwarna putih keperak-perakan dengan garis hitam mulai dari kepala hingga ekor. Panjang tubuh individu jantan dan betina hampir sama yaitu berkisar antara 430-600 mm. Panjang ekor berkisar antara 560-720 mm. Berat tubuh rata-rata 6,5 kg. Surili g banyak mengkonsumsi daun muda atau kuncup daun sebagai makanannya.

Hewan imut-imut ini, hanya terdapat di Jawa Barat dan Banten, terutama di kawasan hutan yang yang tergolong kawasan konservasi (Taman Nasional, Cagar Alam) dan hutan lindung. Dia hidup berkelompok. Setiap kelompok biasanya terdiri atas satu ekor jantan dengan satu atau lebih betina.

Hewan yang banyak diburu orang ini, aktif di siang hari (diurnal) dan lebih banyak melakukan aktivitasnya pada bagian atas dan tengah dari tajuk pohon (arboreal). Pada malam hari kelompok surili tidur saling berdekatan.

Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jabar-Banten Sylvana Ratina mengatakan, saat ini, jumlah Surili di Jabar hanya sekitar 275 ekor yang terdiri dari berbagai kelompok. Seluruhnya, ada di hutan konservasi yang menjadi kewenangan BBKSDA.

Biasanya, kata dia, satu kelompok terdiri dari tiga sampai tujuh ekor. Jumlah tersebut terbagi ke beberapa kawasan hutan di Jabar. Di antaranya, Gunung Burangrang, Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango, Situ Patenggang, Situ Lembang, Kamojang, dan Rancadanau di Banten.

Hewan langka Surili ini, diakui Sylvana, kerap menjadi barang koleksi di kalangan masyarakat, khususnya yang tajir. Lokasi pemeliharaan biasanya berada di daerah perkotaan, di rumah-rumah orang kota. "Biasanya untuk dikoleksi di daerah perkotaan, di rumah-rumah orang kaya," tutur dia, usai agenda pelepasliaran Surili di Situ Patenggang, Kabupaten Bandung, Rabu (7/9).

 

Kebanyakan pelaku perdagangan satwa langka berasal dari luar Jawa Barat. Satwa langka ini pun biasanya dijual ke daerah selain Jawa Barat. "Kemarin yang ditangkap di Garut itu orangnya dari Indonesia Timur. Kalau nggak diserahin ya pidana," tutur dia.

Biasanya perdagangan satwa langka ini dilakukan lewat media daring seperti facebook. Motif adanya perdagangan tersebut sebetulnya sepele, yakni untuk kesenangan atau hobi memelihara hewan langka. "Untuk dipelihara, ya kayak melihara burung aja. Rata-rata untuk kesenangan," ujar dia.

Padahal, pemeliharaan satwa langka, termasuk Surili, itu ilegal dan dapat dikenakan sanksi pidana dengan ancaman hukuman penjara lima tahun dan denda Rp 100 juta. Sylvana mengatakan, saat ini, ada sekitar belasan ekor yang sedang direhabilitasi setelah diserahterimakan dari masyarakat yang sebelumnya memelihara Surili.

"Masyarakat kian sadar untuk tidak memelihara hewan langka tersebut," tuturnya. Hingga kemudian, banyak masyarakat yang menyerahkan hewan tersebut kepada BBKSDA untuk dilepasliarkan ke hutan di Jawa Barat. Karena kesadaran itulah, jumlah satwa langka yang berada di masyarakat kian berkurang.

Perdagangan satwa langka saat ini diakui dia memang masih terjadi. Bahkan, sempat diketahui ada satwa langka yang diselundupkan ke Inggris. Setelah perdagangan itu akhirnya diketahui, hewan tersebut pun dikembalikan ke Indonesia untuk kemudian dilepasliarkan ke habitatnya.

Untuk perdagangan Surili sendiri, menurut Sylvana, belum sampai ke tingkat internasional. Pihaknya terus melakukan patroli untuk menemukan pihak-pihak masyarakat yang diketahui memelihara Surili. Ia berharap, masyarakat menyadari tentang arti penting dari keberadaan Surili di hutan bebas.

Karena, kehadiran Surili di hutan bebas dapat memperpanjang usia ekosistem alam. Sehingga, mata rantai ekosistem di hutan konservasi pun bisa terus berjalan. "Hutan kita jadi terjaga dan terus tumbuh. Karena kan sisa-sisa biji buah yang dimakan Surili ini bisa menjadi bibit pohon yang baru," ujar dia.

Surili merupakan satwa yang hanya terdapat (endemik) di Jawa Barat dan Banten. Satwa ini dilindungi oleh perundang-undangan yang berlaku di Indonesia yaitu berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 247/Kpts/Um/1979 tanggal 5 April 1979, SK Menteri Kehutanan No. 301/Kpts-II/1991 tanggal 10 Juni 1991 dan Undang-undang No. 5 Tahun 1990. Penyusutan habitat merupakan ancaman terbesar bagi populasi Surili. Itulah salah satu yang menjadi alasan kalau surili ini menjadi identias Jabar. Bahkan, pada ajang pesta olahraga empat tahunan di Tanah Air, PON XIX/2016 yang berlangsung di Provinsi Jabar, surili menjadi maskot PON.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement