Selasa 06 Sep 2016 17:18 WIB

KPAI: Keluarga Benteng Pertama Cegah Radikalisme

Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Niam Sholeh
Foto: Republika/ Wihdan
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Niam Sholeh

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Niam Sholeh mengatakan keluarga adalah benteng pertama dalam pencegahan penyebaran paham radikal terorisme di kalangan generasi muda.

"Keluarga adalah dasar sekaligus benteng untuk hal-hal negatif termasuk radikalisme," kata Niam di Jakarta, Selasa (6/9).

Oleh karena itu, kata Niam, orang tua harus membekali anak soal nilai-nilai kemanusiaan dan cinta damai sejak kecil.

Niam mengatakan KPAI sangat menaruh perhatian pada penanganan anak-anak di bawah umur yang terpapar radikalisme dan terorisme.

"KPAI akan secara khusus melakukan penanganan anak yang terpapar ideologi terorisme dengan pendekatan preventif dan reedukasi," katanya.

Menurut dosen pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu, penanganan anak yang terpapar ideologi radikal terorisme tidak bisa dilakukan dengan pendekatan keamanan semata, tetapi juga harus melalui pendekatan pendidikan. "Kita menginginkan paparan radikalisme dan terorisme tidak masuk kepada anak-anak dan tidak menjadi bibit-bibit baru untuk terorisme pada masa depan," kata Niam.

Penggiat perdamaian dan pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian Noor Huda Ismail mengatakan nilai-nilai tentang perdamaian dan cinta kasih sangat mengena di hati anak-anak dan remaja melalui aksi-aksi nyata. "Nilai-nilai luhur dan pendidikan kebangsaan bagi saya itu tidak ditanamankan lewat upacara atau jargon-jargon, tetapi dengan melakukan kerja-kerja pelayanan masyarakat," katanya.

Misalnya, siswa didorong terlibat aktif membersihkan sampah di sekitar lingkungan sekolah, keluarga mendorong anak-anaknya untuk mewakafkan waktu mereka untuk berbagi dengan anak-anak yang tidak lebih beruntung dari mereka, atau membuat narasi alternatif perdamaian di media sosial.

"Saya tidak suka upacara, tetapi saya kira saya tidak lantas menjadi radikal bukan? People learn more from concrete experience (Masyarrakat belajar dari pengalaman). Itu intinya," kata pembuat film dokumenter Jihad Selfie itu.

Menurut dia, narasi alternatif di media sosial sangat penting untuk pengajaran soal nilai-nilai baik dan mengimbangi narasi radikal. Ia menilai masih sangat sedikit upaya secara sistematis untuk melakukan narasi tandingan terhadap propaganda kelompok-kelompok tersebut.

"Hal ini terdengar basi, tetapi itu adalah fakta penting yang perlu segera disikapi dalam jangka waktu dekat, mengingat sudah ada beberapa kasus beberapa anggota organisasi Islam moderat, seperti NU dan Muhammadiyah, yang loncat pagar dan bergabung dengan kelompok kekerasan," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement