Jumat 02 Sep 2016 13:00 WIB

Kota Yogyakarta dan Sleman Terancam Krisis Air

Rep: Rizma Riyandi/ Red: Yusuf Assidiq
Air bersih
Foto: Pixabay
Air bersih

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Laju penurunan permukaan air tanah di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman, DIY, terus terjadi. Kondisi ini disebabkan oleh tingginya pemakaian air, sementara resapan air ke tanah justru semakin menurun. 

Akibatnya, kata pakar hidrologi UGM, Setyawan Purnama, setidaknya 50 persen kawasan di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman, terancam mengalami krisis air. “Kebutuhan air di Yogyakarta dan Sleman tinggi karena jumlah penduduk bertambah dan tingkat ekonominya naik. Sehingga penggunaan airnya pun tinggi,” kata Guru Besar Fakultas Geografi UGM ini, Jumat (2/9). 

Menurutnya, berdasarkan data Dinas Pekerjaan Umum Energi dan Sumber Daya Mineral DIY pada 2011, penurunan muka air tanah di Kota Yogyakarta mencapai 30 centimeter per tahun. Sementara di Sleman antara 15 sampai 30 cm tiap tahunnya. 

Penurunan air tanah tersebut terjadi sebanyak 28 titik di cekungan air tanah (CAT) Yogyakarta dan Sleman.  Di antaranya  di Kecamatan Mlati, Ngemplak, Godean, Moyudan, Umbulharjo, Kotagede, dan Mergangsang. “Kalau per tahunnya air tanah turun sampai 30 cm, maka dalam 10 tahun bisa turun hingga tiga meter,” kata dosen Geografi Lingkungan itu. 

Data Direktorat Tata Lingkungan Geologi dan Kawasan Pertambangan ESDM 2011 menunjukkan potensi atau ketersediaan air tanah dangkal di wilayah Yogyakarta dan Sleman mencapai 604 juta meter kubik per tahun. Sedangkan untuk air tanah dalam sebesar sembilan juta meter kubik per tahun.  

Sementara menurut Data Sensus Penduduk BPS DIY 2010, jumlah penduduk Sleman mencapai 1.093.110 jiwa dan Kota Yogyakarta 388.637 jiwa. Adapun kebutuhan air masyarakat di wilayah perkotaan mencapai 130 liter per hari. 

Melihat kondisi saat ini, ujarnya, dikhawatirkan akan terjadi kerawanan air secara menyeluruh di Kota Yogyakarta dan Sleman. Setyawan menambahkan penurunan air tanah juga terjadi akibat berkurangnya daerah resapan karena maraknya konversi lahan. Lahan-lahan terbuka semakin sulit ditemukan karena berubah menjadi kawasan perumahan dan bangunan komersial seperti mal, hotel, dan apartemen. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement