Jumat 02 Sep 2016 12:09 WIB

Singapura Terdeteksi Zika, Indonesia Harus Waspada

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Andi Nur Aminah
Penumpang kapal ferry dari Singapura melewati poster himbauan kewaspadaan terhadap penyebaran virus Zika di Pelabuhan Internasional Batam Centre, Batam, Kepulauan Riau, Kamis (1/9).
Foto: Antara/M N Kanwa
Penumpang kapal ferry dari Singapura melewati poster himbauan kewaspadaan terhadap penyebaran virus Zika di Pelabuhan Internasional Batam Centre, Batam, Kepulauan Riau, Kamis (1/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia harus mewaspadai terdeteksinya virus Zika di Singapura. Pasalnya potensi penularan virus tersebut sangat tinggi, yakni nyamuk Aedes aegypti-nya ada, lingkungan mendukung dan kepedulian masyarakatnya kurang.

“Ini adalah faktor risiko yang kami anggap penting. Harus digarap serius dan tidak bisa parsial,” ujar pakar di bidang virus Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Institut Pertanian Bogor (IPB) Surachmi Setyaningsih, baru-baru ini.

Dia menyebut saat ini Singapura sudah melaporkan adanya serangan virus Zika pada manusia. Karena ada isu bahwa virus ini kemungkinan ada hubungan dengan bayi yang akan dilahirkan, mereka mendeteksi walaupun gejalanya ringan seperti  demam, mata merah, bercak merah (seperti demam berdarah). “Singapura dengan kita kan dekat, saya kira nyamuknya tidak berbeda jauh spesiesnya dengan kita. Mereka yang sanitasinya bagus bisa tertular, maka kita harus siap dan tingkatkan kewaspadaan,” jelasnya.

Penyebaran virus zika harus diwaspadai karena manusia menyediakan habitatnya. Lingkungan rumah dan sekeliling penuh dengan wadah air yang bisa mengakibatkan Aedes aegypti berkembang. Ada kaleng bekas, ada sisa barang yang menumpuk di dalam rumah dan menjadi tempat berkembang biak nyamuk.

Dia mengatakan selama ini masyarakat sudah tahu bahwa mereka menyediakan air yang bisa menjadi tempat berkembang biak Aedes aegypti. Namun kepedulian terhadap lingkungannya sangat rendah sekali. “Hasil pengamatan jentik di beberapa daerah menunjukkan angka bebas jentik di Bogor masih jauh dari standar pemerintah. Rata-rata baru mencapai 17 hingga 18 persen,” kata pakar di bidang nyamuk FKH IPB Upik Kesumawati.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement