Jumat 02 Sep 2016 06:00 WIB

Lock and Lock Presiden Jokowi

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID, Ada banyak faktor yang membuat seorang presiden akan dikenang sejarah. Pertama, memiliki visi dan misi yang bisa menghipnotis massa dan memiliki jangkauan jauh ke depan. Kedua, memiliki program yang jelas, koheren, terukur, serta sesuai dengan visi dan misi. Ketiga, memiliki tim yang kompak dan berkualitas. Keempat, mempunyai kepemimpinan dan keterampilan manajerial yang baik. Kelima, bisa bekerja sama dengan banyak pihak. Keenam, mampu menjaga dukungan publik untuk memuluskan kepemimpinannya dan berimplikasi pada keterpilihannya di pemilu berikutnya.

Presiden Jokowi menggenggam poin nomor satu dan enam dengan baik. Trisakti dan Nawacita merupakan visi dan misinya, sehingga publik terpesona dan mendukung dirinya. Ia juga mampu menjaga popularitas dan dukungan publik terhadap dirinya. Ia bisa mengendalikan lawan-lawan politik maupun mitra-mitranya. Ia bisa menjaga opini publik dengan baik melalui media massa maupun media sosial. Namun, di empat faktor lainnya, Jokowi masih harus bekerja keras, bahkan ada yang terseok-seok. Misalnya soal Nawacita dan Trisakti yang kian sayup-sayup.

Mengapa di empat faktor itu mengalami masalah? Ada dua faktor penyebab semua itu. Pertama, Jokowi terlalu mengutamakan penyelamatan dan pengamanan kursi kekuasaannya. Kedua, sejak awal sudah "berdendang" tentang pilpres 2019.

Ruang-ruang obrolan mulai memperlihatkan wajah kegelisahan. Kondisi ekonomi kian merosot. Rupiah tetap tiarap di kisaran Rp 13 ribuan per dolar AS. Daya beli masyarakat tak kunjung pulih. Defisit APBN kian mengancam, kendati pemerintah terus giat melakukan pemotongan anggaran. Pengampunan pajak kontroversial. Reshuffle kabinet jilid dua transaksional dan amburadul. Ekspor dan impor terus merosot. Intinya, geliat ekonomi makin berat. Kegiatan berusaha makin sulit. Kondisi di masyarakat makin perih. Kondisi politik tetap tak kondusif. Memang ada kabar bagus, yakni menurunnya angka ketimpangan. Namun itu lebih ditopang oleh dana langsung pemerintah ke masyarakat, seperti dana desa maupun proyek infrastruktur. Ini bukan pijakan yang sejati dan struktural. Mudah oleng oleh terpaan. Namun, para politisi dan penyelenggara negara anteng-anteng saja. Mereka lebih gelisah pada kursinya masing-masing.

Semua ini akibat sesat jalan yang dilakukan sejak awal. Pertama, menepikan bahkan terkadang meniadakan Jusuf Kalla sebagai wakil presiden. Hal itu terbaca di publik. Dengan segala kekurangan dan kelemahan Kalla, dia tetap memiliki kekuatan dan kelebihan. Salah satu faktor kemenangan pasangan Jokowi-Kalla pada pilpres lalu adalah kehadiran Kalla. Saat itu ada sentimen negatif terhadap Jokowi. Untuk menghadapi sentimen itu, Jokowi didapuk menjadi imam shalat di Muhammadiyah. Ia juga pergi umrah di minggu tenang. Di debat pilpres putaran terakhir, ia juga memasang A Syafii Maarif di baris depan. Anies Baswedan juga lebih sering ditampilkan daripada Andi Widjajanto. Tapi tetap yang akan permanen adalah Kalla, sehingga faktor Kalla menjadi penting pada kemenangan tipis Jokowi-Kalla terhadap pasangan Prabowo-Hatta. Karena itu, menepikan faktor Kalla dalam duet pemerintahan merupakan pengingkaran terhadap suara pemilihnya. Selain itu, Kalla memiliki pengalaman lebih panjang dalam pengelolaan pemerintahan dan pemahaman yang lebih baik dalam hal ekonomi.

Kedua, pemilihan anggota Wantimpres yang lebih memberi kesan bagi-bagi jatah terhadap unsur penyokongnya. Lembaga ini kelihatannya sepele karena bekerja di balik layar. Namun Wantimpres menjadi sangat penting di saat genting. Selain itu, lembaga ini diharapkan menjadi pembisik presiden yang bijak. Karena itu, Wantimpres harus berisi orang-orang bijak, senior, mewakili semua unsur dalam konfigurasi masyarakat, dan disegani keseniorannya. Wantimpres harus menjadi lembaga paling steril dari politik kekuasaan. Mereka haruslah orang-orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri.

Ketiga, pada akhirnya kabinet bersifat transaksional dan bagi-bagi kursi. Kabinet menampung banyak partai dan menampung titipan para sponsor besar dalam pilpres. Teriakan kabinet ramping dan tidak transaksional saat kampanye hanya isapan jempol belaka. Keempat, jabatan direksi dan komisaris BUMN juga setali tiga uang dengan penyusunan kabinet. Para profesional BUMN yang sudah bekerja dengan baik bisa hilang begitu saja. Meritokrasi bukan ukuran utama. Kelima, membabat habis suara kritis dan mematikan oposisi. Lembaga-lembaga penegak hukum, kewenangan administratif pemerintahan, dan partai sosmed dikerahkan secara habis-habisan untuk mematikan suara kritis. Tak ada orang dan lembaga yang tak memiliki kelemahan, namun jika itu dieksploitasi untuk mematikan, maka pada akhirnya mereka akan diam. Suara kritis, sekeras apa pun dan dengan tujuan apa pun, akan memberikan manfaat dan menyehatkan. Kini, tak ada kritisisme yang sejati di parlemen maupun di lembaga-lembaga akuntabel. Yang ada hanyalah kritisisme hit and run yang tentu tak memiliki arti. Inilah yang membuat pemerintah kehilangan pecut pengingat.

Akibat dari semua kombinasi itu, tombol-tombol yang ada di meja Jokowi hanyalah tomboh-tombol pengamanan kekuasaan. Software yang ada di komputer Jokowi hanyalah aplikasi untuk me-like. Padahal emoticon yang kekinian makin variatif. Tentu kita harus menolak gagasan menurunkan pemerintah di tengah jalan. Itu kebiasaan yang tidak sehat. Kita harus mencintai pemerintahan siapa pun. Cinta yang sehat justru yang disertai rasa cemburu dan marah, bukan cinta pasrah yang membuat kita tersesat jalan. Suka tidak suka, kita sedang menempuh jalan yang agak tersesat. Pada tahap tertentu kita berada dalam situasi lock and lock. Saling mengunci. Memperbaiki situasi ekonomi relatif mudah, namun suasana politik di sekitarnya sudah rusak dan banyak yang tersakiti. Namun kita tak boleh kehilangan harapan. Masih ada waktu untuk memperbaiki diri. Butuh kerendahhatian dan kebesaran jiwa.

Tujuan sejati politik dan kekuasaan bukanlah untuk menaklukkan dan menyingkirkan lawan-lawan dan pesaing-pesaing politik, tapi untuk menyejahterakan rakyat, menegakkan keadilan, dan memajukan negeri. Politik bukanlah soal kursi, tapi soal amanah dan tanggung jawab.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement