Kamis 01 Sep 2016 15:00 WIB

Orang Tua Pelaku Teror Gereja Medan Minta Maaf

Rep: Issha Harruma/ Red: Angga Indrawan
Personel Gegana Brimob Polda Sumut melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) pasca peristiwa teror bom di Gereja Katolik Stasi Santo Yosep Medan, Sumatera Utara, Senin (29/8).
Foto: Antara/Septianda Perdana
Personel Gegana Brimob Polda Sumut melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) pasca peristiwa teror bom di Gereja Katolik Stasi Santo Yosep Medan, Sumatera Utara, Senin (29/8).

REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN -- Orang tua IAH (17), meminta maaf atas aksi teror dan serangan yang dilakukan anaknya di gereja katolik Stasi Santo Yosep Medan, Ahad (28/8) lalu. Aksi teror tersebut dianggap sebagai kesalahan mereka dalam mendidik IAH.

"Saya sebagai ibu IAH meminta maaf sedalam-dalamnya, sebesar-besarnya kepada masyarakat Sumut dan bagi umat Katolik atas tingkah laku anak kami," kata ibu IAH, Arista Purba sambil menangis saat konferensi pers di kantor Peradi Medan, Kamis (1/9).

Arista pun meminta maaf pada pastor Albert S Pandiangan karena telah menjadi korban serangan anaknya. Menurutnya, apa yang dilakukan anaknya bukanlah persoalan agama. Orang tua dan saudara Arista, disebut masih banyak yang menganut agama Kristen. Oleh karena itu, jika memang aksi teror yang dilakukan anaknya itu mengatasnamakan agama, maka hal itu di luar jangkauan mereka.

"Sebagai mamaknya saya lah yang salah, mungkin saya kurang mengawasi anak. Tapi ini bukan kehendak kami, ini di luar jangkauan kami," ujar dia.

Permohonan maaf juga disampaikan ayah IAH, S Makmur Hasugian. Makmur mengatakan, selain Islam, keluarga dia dan istrinya masih banyak yang menganut agama Kristen. Mereka pun tentu tidak mengingingkan ada gesekan antarumat beragama.

"Tentu kami tidak menghendaki ada ketidakharmonisan antarumat beragama. Jadi kami meminta maaf atas peristiwa ini kepada seluruh umat Kristiani khususnya umat Katolik Santo Yosep Medan," kata Makmur.

Menurut Makmur, aksi yang dilakukan anaknya itu disebabkan oleh ketidakmampuan mereka sebagai orangtua dalam mengawasi anak. Apalagi di usianya yang masih 17 tahun, IAH masih tergolong anak di bawah umur yang masih labil dan berkembang.

"Kami minta maaf karena tidak mampu mengawasi anak kami setiap detik. Mudah-mudahan ini tidak terjadi pada yang lain dan tidak terjadi peristiwa-peristiwa semacam ini di Medan dan Indonesia," ujar dia. Permintaan maaf ini, kata Makmur, akan disampaikan secara khusus oleh keluarga IAH ke pastoral dan keuskupan. Permohonan ini akan disampaikan secara langsung pada 5 September mendatang. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement