REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selama ini ada anggapan bahwa orang kota bersifat individualis. Namun penelitian terbaru menyebutkan hanya segelintir saja dari orang kota yang sejak lahir memang menjadi individualis.
Selebihnya, orang kota menjadi individualis karena faktor eksternal yang membentuknya menjadi demikian. "Faktanya ada faktor eksternal yang mengondisikan seseorang menjadi pribadi yang individualis," ujar Peneliti Merapi Cultural Institute (MCI) Gendhotwukir, Selasa (30/8).
Ia mengatakan revolusi industri, transportasi, teknologi, dan pasar berangsur-angsur mengubah kondisi kehidupan sosial. Industrialisasi mengubah pola kehidupan masyarakat dari agraris menjadi industri. Di satu sisi muncul hal positif seperti pertumbuhan ekonomi yang semakin pesat, di sisi lain ada persoalan sosial yang muncul sebagai dampaknya. "Ideologi individualisme muncul karena arogansi kaum industrialis yang memunculkan praktik perbudakan sehingga menciptakan strata kelas," kata peneliti yang pernah mengenyam pendidikan di Philosophisch-Theologische Hochschule Sankt Augustin Jerman ini.
Dalam konteks kekinian orang-orang kota sering dituding memiliki jiwa kebersamaan yang minim karena dampak beragam revolusi di atas. Singkatnya, kelas-kelas sosial pun tercipta dengan semangat kelas yang seolah-olah mementingkan dirinya sendiri dan mengabaikan kepentingan individu-individu yang lain. Menurutnya, manusia hidup terkotak-kotak dalam kubikel, spesialisasi, partisi, apartemen, dan cluster yang membuat penghuni berjarak dengan sekitar.
Sejatinya, kata dia, faktor pekerjaan-lah yang mempengaruhi interaksi antarwarga di perumahan elite atau cluster karena mereka biasanya bekerja dari pagi hingga malam. Sesampainya di rumah, mereka beristirahat dan butuh ketenangan. Saat akhir pekan atau hari libur pun biasa dimaknai sebagai hari keluarga.
Faktanya, kata dia, kalau pun kebanyakan orang kota selama ini kurang dapat bersosialisasi, itu terlebih karena masing-masing individu yang sibuk dengan pekerjaannya. Namun, sejatinya mereka bukanlah pribadi yang individualis, apalagi pribadi yang dilahirkan untuk menutup diri dan egois.
Gendhotwukir mengatakan di era globalisasi ini, seseorang memang cenderung memiliki dunianya sendiri. "Namun di dalam hati kecilnya, ia ingin bersosialisasi. Tak mengherankan, media sosial pun menjadi salurannya," ujar salah satu pendiri Rumah Baca Komunitas Merapi (RBKM) di lereng Gunung Merapi ini.
Menurut dia, orang lalu biasa menyalahkan orang-orang kota yang tidak saling bertegur sapa dengan tetangga, meski rumahnya berdekatan atau berdampingan. Banyak yang lantas berkesimpulan bahwa nilai-nilai kebersamaan dan tenggang rasa luntur. Banyak yang tak menyadari bahwa nilai-nilai yang dipertanyakan kini mewujud dalam gerakan-gerakan bersama melalui media sosial. "Dengan kata lain, seseorang yang terkungkung dalam tantangan hidup perkotaan dan tuntutan kebutuhan dengan beragam kecenderungan berjarak, tetap mencari kanal-kanal untuk bersosialisasi," kata Gendhotwukir.