Selasa 30 Aug 2016 08:20 WIB

Pengamat: Penegak Hukum tak Seharusnya Menunggak Kasus Korupsi

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Angga Indrawan
Korupsi, ilustrasi
Korupsi, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hajar berpendapat, tidak seharusnya aparat penegak hukum mengendapkan kasus yang ditanganinya, sehingga tak kunjung naik ke penuntutan. Sebab, ketika aparat penegak hukum sudah berani menetapkan seseorang sebagai tersangka, artinya sudah mempunyai sekurang-kurangnya dua alat bukti.

"Jika sdh punya dua alat bukti, tidak ada alasan untuk menunda pemeriksaannya," kata Fickar saat dihubungi Republika.co.id, Senin (29/8).

Oleh sebab itu, menjadi aneh menurutnya jika aparat penegak hukum tak kunjung menaikan kasus yang ditanganinya ke tahap penuntutan. Sebab, jika pun kasus tersebut tidak cukup alat bukti, para penegak hukum bisa mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) agar penanganannya tidak berlarut-larut.

"Menjadi aneh banyak tunggakan (kasus oleh penegak hukum). Kalau tidak ada bukti ya SP3 kan saja," ucap Fickar.

Sebelumnya, hasil penelitian ICW atas perkembangan kasus korupsi di tiga lembaga penegak hukum pada semester satu 2016, dari 911 kasus hanya 156 kasus atau 17,1 persen yang naik ke penuntutan. Tunggakan kasus yang masih tetap dalam tahap penyididikan sebanyak 755 kasus. Kejaksaan berada pada urutan tertinggi penunggak kasus dengan total 527 kasus.

Rinciannya, dari 639 kasus yang ditangani kejaksaan, hanya 112 kasus yang naik ke penuntutan (82,5 persen menunggak). Begitu pun dengan kepolisian yang hanya menyelesaikan penyidikan 35 kasus dari 246 kasus yang ditangani (85,8 persen menunggak). Sementara KPK, dari 26 kasus yang ditangani, 9 di antaranya naik ke penuntutan (65,3 persen menunggak).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement