REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia perlu menjadi pendorong bagi kemajuan riset life science, khususnya vaksin. Hal itu ditegaskan dalam Forum Riset Life Science Nasional (FRLN) yang digelar pada hari ini di Hotel Grand Sheraton, Jakarta.
Direktur Utama Biofarma, Iskandar mengatakan produk yang berasal dari hasil riset peneliti dalam negeri dengan sendirinya akan lebih murah di pasaran. Walau begitu, kualitasnya tetap berstandar internasional yakni sesuai kriteria Badan Kesehatan Dunia (WHO).
Ia mengungkapkan dalam konteks riset bioteknologi global, lumrah terjadi fenomena memperebutkan sumber daya genetik, yakni hewan laut, tetumbuhan, atau bahkan virus yang darinya akan dikembangkan antigen. Indonesia sendiri begitu kaya akan sumber daya genetik.
Namun, lanjutnya, dunia riset dalam negeri memerlukan sinergi antara pemerintah, perguruan tinggi, komunitas ilmiah, dan industri. Tujuannya, mempercepat hilirisasi serta komersialisasi produk-produk life science atau vaksin karya peneliti Indonesia. Dalam bidang pendanaan, Lembaga Pengelolaan Dana Pendidikan (LPDP) diharapkannya dapat memberikan dorongan melalui pendanaan riset.
"Nah, kombinasi antara sumber daya genetik yang melimpah penguasaan teknologi tinggi supaya bisa hilirisasi efektif," katanya, Kamis (25/8).
Dengan sinergi lintas sektor, sambung dia, Indonesia bisa mewujudkan kemandirian vaksin nasional. Apalagi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan.
Iskandar menegaskan kemandirian di bidang farmasi merupakan hal yang mutlak. Dalam konteks pertahanan negara, Indonesia perlu mewaspadai potensi senjata biologis dari jaringan terorisme global.
Bila Indonesia tak memproduksi dan mengembangkan vaksin sendiri, menurut Iskandar, akan muncul titik lemah sehingga Indonesia bisa jadi terisolasi.
"Misal H5N1. Penerbangan nanti enggak mau datang ke sini. Karena ada risiko terkena. Jadi, kemandirian menjadi hal yang mutlak. Ibaratnya, kita membuat pesawat tempur sendiri, harus bisa. Kalau tidak, kita akan mudah diserang penyakit seperti itu," jelasnya.
Di tempat yang sama, Dirjen Penguatan Riset Kemenristek Dikti, Muhammad Dimyati, menekankan, para peneliti harus bisa terjembatani dengan dunia industri.
Ia menilai, FRLN yang semula bernama Forum Riset Vaksin Nasional (FRVN), merupakan ajang yang tepat untuk mewujudkan hal itu. Sejak 2011, FRVN dihelat secara tahunan hingga kini. Itu digagas pertama kali oleh Biofarma dan Kemenristek.
"Pembuatan vaksin itu suatu keharusan. Kalau tidak, kita akan menjadi permainan negara-negara besar. Dan (FRLN) ini menjadi bagian dari kekuatan kita untuk mendukung kemandirian," ujar Dimyati, Kamis (25/8).