Rabu 24 Aug 2016 08:02 WIB

2.000 Eksportir Kayu Miliki SVLK

Proyeksi Ekspor Kayu dan Produk Kayu: Pekerja mengangkut kayu di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara, Kamis (12/2).
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Proyeksi Ekspor Kayu dan Produk Kayu: Pekerja mengangkut kayu di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara, Kamis (12/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) akan berfungsi menjadi lisensi "Forest Law Enforcement, Governance and Trade-Voluntary Partnership Agreement" (FLEGT) yang berlaku di pasar Uni Eropa mulai 15 Noveber mendatang. SVLK ini merupakan lisensi legalitas yang harus dimiliki oleh setiap perusahaan dalam tahap uji tuntas (due dilligence) produksi kayu ekspor.

KLHK mencatat sekitar 2.000 eksportir produk kayu baik primer dan lanjutan di Indonesia telah memiliki SVLK yang mengolah bahan baku dari sekitar 24 juta hektare hutan Indonesia. Dengan lisensi FLEGT, produk kayu Indonesia dapat memasuki pasar 28 negara anggota Uni Eropa tanpa melalui proses uji kelayakan lagi.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengakui proses dalam mendapatkan sertifikat Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) masih dikeluhkan industri. Salah satunya faktor biaya.

"Keluhan-keluhan yang sering diutarakan ada dua, pertama soal biaya. Meskipun sebenarnya sangat relatif, sebutlah Rp 25 juta untuk sertifikasi, itu berlaku enam tahun dan bisa diperoleh secara kelompok," kata Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan KLHK Rufi'ie, Selasa (23/8).

Rufi'ie mengatakan ada sejumlah faktor yang membuat biaya mendapatkan sertifikat SVLK tinggi. Salah satunya lembaga penerbit dokumen v-legal di Indonesia yang masih terbatas, yakni berjumlah 22 Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu (LVLK).

LVLK tersebut umumnya masih terpusat di Jakarta, Bogor, dan sekitarnya serta Yogyakarta, sehingga biaya akomodasi untuk auditor menjadi lebih tinggi dibandingkan jika lokasi LVLK tersebut tersebar di seluruh wilayah. Rufi'ie menjelaskan keluhan lainnya yang dirasakan industri adalah prosedur SVLK yang dinilai rumit.

"Prosedurnya rumit mungkin karena kurang pemahaman, mengingat SVLK ini sebuah sistem yang memastikan perusahaan tertib dengan ketentuan yang sudah ada. Untuk mendapatkan sertifikasi, harus ada SIUP sehingga perlu kerja sama dan komunikasi dengan pemda setempat," ujar Rufi'ie.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement