Rabu 24 Aug 2016 06:33 WIB

Cara Kerja Rezim Jokowi yang Malas, Hanya Bisa Bebani Rakyat

Red: M Akbar
Kusfiardi
Foto: istimewa
Kusfiardi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Kusfiardi (Direktur Kajian Ekonomi dan Bisnis Puspol Indonesia)

Pemerintah menargetkan pendapatan cukai dalam RAPBN 2017 sebesar Rp 157,16 triliun atau naik 6,12 persen dari target APBN Perubahan 2016 sebesar Rp 148,09 triliun. Khusus untuk cukai hasil tembakau, ditargetkan sebesar Rp 149,88 triliun atau naik 5,78 persen dari target APBNP 2016 sebesar Rp 141,7 triliun.

Dari target pendapatan cukai total itu, sebanyak Rp 149,87 triliun di antaranya ditopang dari pendapatan cukai hasil tembakau. Adapun sisanya berasal dari cukai etil Alkohol (Rp150 miliar), cukai minuman mengandung etil alkohol (MMEA) (Rp 5,53 triliun), dan pendapatan cukai lainnya (Rp1,6 triliun).

Dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2017 dijelaskan, penentuan target pendapatan cukai diarahkan untuk mengendalikan konsumsi barang kena cukai melalui penyesuaian tarif cukai hasil tembakau dan tarif cukai EA-MMEA. Dalam RAPBN tahun 2017 disebutkan juga bahwa langkah ini akan dilanjutkan upaya mengenakan tarif cukai atas barang kena cukai baru yang diperkirakan memiliki negative externality (merugikan orang banyak).

Sekilas rencana pemerintah di atas terkesan positif--melindungi warga negara dari konsumsi yang memiliki efek merugikan orang banyak. Namun, sebelum larut lebih jauh dalam propaganda pemerintah, kita perlu berpikir kritis.

Langkah pemerintah menaikkan penerimaan cukai adalah pilihan yang paling mudah untuk menggalang penerimaan negara. Pemerintah tak perlu melakukan kerja keras, cukup hanya dengan mengeluarkan kebijakan tentang cukai seperti di atas.

Kemudian yang menanggung beban dari target kenaikan penerimaan cukai itu tentu adalah konsumen. Tak lain adalah rakyat Indonesia. Para pengusaha tentu tak terlalu ambil pusing. Bagi mereka, jika bisnis yang berkaitan dengan kenaikan cukai ini dianggap tak lagi menguntungkan, mereka tinggal mengalihkan bisnisnya. Bukan hanya sekadar beralih ke bisnis lain, mereka juga bisa merelokasi usahanya ke negara lain yang kebijakannya lebih menguntungkan.

Kemudian pada saat bersamaan sebagian rakyat Indonesia yang terkait dengan bisnis mereka terpaksa rela menjalani pemutusan hubungan kerja dan menjalani masa sebagai pengangguran. Kelompok ini bukan hanya sekadar menjadi pengangguran tapi juga menurunkan daya beli mereka. Pada saat daya beli menurun dampaknya tentu akan terasa sampai ke kinerja perekonomian nasional seperti pertumbuhan ekonomi. Apalagi selama ini pertumbuhan ekonomi selalu ditopang oleh konsumsi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement