REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) meminta pemerintah pusat untuk tidak menyamaratakan konteks kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di daerah-daerah.
Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Barat (Kalbar), Anton P Wijaya menilai, upaya pemerintah, TNI, kepolisian, BNPB, dan elemen terkait lainnya cukup sigap dan solid dalam mengatasi kondisi darurat karhutla, khusunya terkait titik-titik panas (hotspot).
Namun, dia menegaskan, ketegasan yang sama tak dijumpai di ranah penegakan hukum dan pencegahan potensi karhutla di lahan-lahan konsesi.
“Tindakan preventif itu sangat minimal. Bahkan, tak dilakukan. Jadi, penanganan itu dilakukan kemudian di saat kejadian. Ini yang salah,” ucap Anton P Wijaya saat dihubungi, Senin (22/8).
Dalam konteks karhutla 2015 lalu, menurut dia, ada 34 kasus di Kalbar yang belum jelas siapa tersangkanya, baik dari perorangan maupun terutama korporasi.
“Ini yang kita lihat, penegakan hukum sangat lemah dilakukan,” tegasnya.
Satu hal yang menjadi konsen, tutur Anton, yakni upaya manipulatif dari pihak korporasi di Kalimantan Barat.
Semua korporasi besar perkebunan sawit di provinsi tersebut mendorong adanya desa siaga api. Dorongan itu disokong dengan dana yang besar dari perusahaan-perusahaan.
Menurut Anton, predikat “siaga api” hanyalah kedok agar warga lokal mudah dijadikan tertuduh bilamana karhutla terjadi di dekat desa. Betapapun karhutla yang sama misalnya juga berdekatan di area konsensi yang diolah korporasi.
Dengan begitu, Anton menilai, korporasi membangun opini agar kian mudah mengelak dari jeratan hukum.
Karena itu, Walhi mendesak Presiden Jokowi agar tak berpihak pada inisiatif korporasi semacam itu.
“Ini kan desa siaga api tindakan preventif dalam rangka menyiapkan masyarakat. Padahal, konteks yang terjadi, di Kalbar, tahun lalu itu 80 persen kebakaran oleh perusahaan, minimal itu berada di wilayah-wilayah konsesi,” ujar Anton P Wijaya saat dihubungi dari Jakarta, Senin (22/8).
Dia menambahkan, bila warga lokal terus disudutkan, maka potensi terjadinya konflik horizontal kian besar.
“Justru potensi konflik, kerusuhan, itu besar. Kasus kemarin di Kabupaten Ketapang, ketika satu dua masyarakat yang membakar ladangnya ditangkap, kantor Polsek kemudian didatangi seluruh manusia yang ada di situ. Kurang lebih empat hari lalu. Kemudian, dilepaskan,” kata Anton.
Lebih lanjut, dia mendesak agar kejahatan terhadap lingkungan dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa—sama seperti terorisme, korupsi, dan peredaran narkoba. Harapannya, akan ada pengadilan khusus yang untuk kasus-kasus kerusakan ekologis, termasuk karhutla.
“Seperti pengadilan Tipikor (tindak pidana korupsi) itu. Hakimnya paham. Jaksanya paham. Ini kan kejahatan lingkungan berlapis-lapis dampaknya,” tukasnya.