REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia diusianya yang telah memasuki 71 tahun merdeka, segala pembangunan nasional telah dijalankan tidak terkecuali di sektor pendidikan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada dan baru dapat berpengaruh pada sistem pendidikan di Indonesia. Namun, hal tersebut tak seiring dengan semakin baiknya moral generasi muda Indonesia saat ini.
Hingga saat ini masih saja kita lihat dan dengar terjadinya kasus-kasus yang melibatkan anak-anak muda di antaranya tawuran antarpelajar,‘bullying’, genk motor, pergaulan bebas, penyalahgunaan narkotika, obat terlarang, vaksin palsu hingga ijazah palsu. Kasus-kasus tersebut sebagai bukti dari proses penurunan moral bangsa ini yang telah terjadi di seluruh lapisan masyarakat, baik dari tingkat pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi.
Apakah yang salah? Sistem pendidikan atau peran pemerintah? Atau yang lain? Hal ini tentunya tidak hanya sebagai pekerjaan rumah bagi pemerintah saja, tetapi semua lapisan masyarakat memiliki peran penting terutama para pengelola lembaga pendidikan.
Naba Aji Notoseputro, direktur Bina Sarana Informatika (BSI), sebagai salah satu pengelola pendidikan tinggi di Indonesia mengemukakan pendapatnya. “Degradasi moral yang terjadi saat ini tentunya menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua. Hal ini sebagai masalah serius bagi identitas bangsa Indonesia. Dari sektor pendidikan, pembentukan karakter generasi muda tidak hanya dimulai dari pendidikan tinggi, tetapi pada pendidikan dasar sebagai pondasi awal dari terbentuknya karakter generasi muda yang berintegritas,” kata Naba Aji di Jakarta, Selasa (16/08/16).
Naba menambahkan, sebagai langkah awal untuk mengatasi hal tersebut dengan memaknai hakekat pendidikan itu sendiri. “Karena tidak jarang kita terjebak dalam makna pendidikan yang hanya sebagai pengajaran dan transfer ilmu bagi para peserta didik sebagai generasi muda. Pemahamam ini bisa saja dapat berdampak di masa depan, yaitu berkurangnya integritas generasi muda,” ujar Naba.
Pendidikan di level dasar, kata Naba, memiliki peran yang sangat penting. Di level ini, seharusnya para peserta didik dibiasakan untuk saling membantu, bekerja sama, simpati dan empati sesama teman. Pelajaran ini jauh lebih penting dibandingkan dengan pemberian informasi secara teoritis. “Tugas-tugas yang berlandaskan kerja sama, rasa simpati dan empati akan menumbuhkan nuansa belajar yang kompetitif namun sehat,” ungkap Naba.
Naba menambahkan, jika telah memiliki karakter yang berintegritas, maka level pendidikan tinggi bertugas lebih menajamkan potensi dan bakat para peserta didik. “Perguruan tinggi akan mengupayakan peserta didik untuk meningkatkan keilmuwan dan kompetensinya. Sehingga, peserta didik menjadi manusia unggul, sekaligus memiliki integritas,” ujar Naba.
Naba menambahkan, untuk mencetak manusia unggul dan berintegritas, kurikulum pendidikan tinggi dan kegiatan ektra kulikuler harus bersinergi dan saling bekerja sama. “Kemampuan soft skill seperti pengembangan diri dan kemampuan berkomunikasi harus dikembangkan di dalam atau di luar kelas, selain kemampuan hard skill sebagai pondasi utama pengembangan kompetensi peserta didik sesuai dengan bidang ilmu yang dipilih,” tutur Naba.
Naba Aji mengemukakan, pendidikan karakter sebagai sebuah konsekuensi logis pada era merdeka ini. Hal itu guna berkembangnya potensi peserta didik yang cerdas, namun tetap beriman, bertakwa kepada Tuhan yang Mahaesa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. “Sebagaimana sesuai dengan tujuan pendidikan nasional di Indonesia,” tutur Naba Aji Notoseputro.