REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Media sosial dinilai masih menjadi pilihan utama para konsumen untuk menuangkan kekecewaannya terhadap produk dan layanan perusahaan. Ketidakmampuan merespons keluhan konsumen secara cepat bisa berdampak buruk yang dapat menyebabkan krisis pencitraan terhadap produk atau layanan perusahaan.
Hal tersebut disampaikan Managing Director Nexus Risk Mitigation and Strategic Communication, Firsan Nova. Ia menyampaikan hal tesebut saat berbicara pada workshop Technical Public Relation yang diselenggarakan di Hotel Santika, Jakarta, Selasa (16/8).
''Kebebasan berekspresi lewat internet dan media sosial membuat konsumen yang kecewa memiliki akses untuk mengekspresikan kekecewaannya terhadap produk dan layanan perusahaan,'' kata penulis buku Crisis Public Relation - Bagaimana PR Menangani Krisis Perusahaan ini.
Firsan menyatakan kunci dalam menghadapi krisis adalah sikap tenang serta kemampuan merespons isu negatif yang muncul secara cepat. Umumnya, kata dia, isu negatif itu mencuat dari media sosial. Berdasarkan riset convince and convert belum lama ini, kata dia, media sosial adalah pilihan 42 persen konsumen untuk mem-posting kekecewaannya. ''Hal ini tentunya akan bisa memperburuk reputasi perusahaan. Untuk itu crisis di media sosial itu sebaiknya direspon tidak lebih dari 60 menit,'' ujarnya.
Lebih lanjut Firsan menjelaskan krisis PR itu sesungguhnya dapat menimpa kepada setiap perusahaan manapun. Pada satu sisi, kata dia, stabilitas perusahaan, recovery citra perusahaan, dan berbagai hal tentunya akan dilakukan supaya perusahaan bisa kembali pada performa awal ataupun rebound dengan memanfaatkan kondisi krisis. ''Perlu diketahui bahwa pada dasarnya krisis itu merupakan perpaduan antara ancaman sekaligus juga peluang,'' katanya.
Sementara itu Manager Public Relations PT. AHM, Rina Listiani, menyadari adanya ancaman terhadap PR Crisis ini. Ia sangat berharap kegiatan ini dapat memberikan wawasan kepada seluruh pekerja PR di tempatnya serta dapat memahami langkah-langkah yang diperlukan jika terjadi krisis.
''Upaya preventif dapat dilakukan dengan menumbuhkan kepercayaan masyarakat pada perusahaan serta membina hubungan yang baik dengan aparat pemerintah. Saya sangat berharap kegiatan workshop semacam ini bisa menambah wawasan,'' ujarnya.