Selasa 16 Aug 2016 12:43 WIB

Formappi: Pidato Jokowi tanpa Catatan Kritis

Presiden Joko Widodo saat berpidato dalam Sidang Tahunan MPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (16/8). (Republika/Tahta Aidilla)
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Presiden Joko Widodo saat berpidato dalam Sidang Tahunan MPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (16/8). (Republika/Tahta Aidilla)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menilai pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo di hadapan MPR, Selasa (16/8) pagi, tidak mengutarakan kekurangan lembaga-lembaga negara yang dapat menjadi landasan perbaikan ke depan.

"Dalam pidatonya hampir semua lembaga negara diapresiasi, tanpa catatan-catatan kritis tentang kekurangan-kekurangan yang masih dihadapi, yang membuat perubahan dalam banyak hal masih jauh dari harapan," ujar peneliti Formappi Lucius Karus.

Lucius mencontohkan Jokowi mengapresiasi kerja DPR yang menurutnya sudah menghasilkan 10 undang-undang untuk tahun 2016. Berdasarkan catatan Formappi dari total 10 undang-undang itu hanya tujuh yang merupakan RUU Prioritas, sedangkan lainnya merupakan UU Kumulatif Terbuka yaitu UU terkait APBN.

Dalam pidatonya presiden juga mengapresiasi kerja pengawasan DPR dengan menyatakan DPR telah mendorong optimalisasi pemeriksaan BPK, serta optimalisasi peran komisi dan anggota Dewan. DPR disebut juga telah melakukan uji kelayakan dan kepatutan terhadap para pejabat negara yang diajukan Pemerintah. Dalam melaksanakan fungsi anggaran, Jokowi menyampaikan pembahasan RAPBN 2017 yang kini sedang dilakukan DPR harus ditujukan bagi sebesar-besarnya kepentingan rakyat.

"Saya melihat apa yang disampaikan Jokowi memang khas pidato kenegaraan yang sepertinya tak ingin merusak pidato dengan data-data yang berisi kritik terhadap kinerja kelembagaan," ucap Lucius.

Dari sisi pengesahan undang-undang, kata Lucius, keberhasilan DPR mengesahkan 10 RUU pada tahun 2016 memang merupakan sebuah prestasi. Tetapi prestasi itu masih belum seberapa jika dibandingkan dengan target yang disebut oleh DPR sebagai prioritas tahunan yakni 50 RUU Prioritas.

Dalam pelaksanaan fungsi pengawasan, apresiasi yang disampaikan Jokowi terhadap DPR menurut dia dalam kenyataannya justru jauh dari harapan. Contohnya laporan BPK yang menjadi salah satu acuan DPR dalam mengawasi pemerintah jarang ditindaklanjuti DPR.

"Ada banyak sekali potensi pelanggaran, kerugian negara yang disampaikan BPK dalam laporan hasil audit mereka terkait kinerja lembaga. Akan tetapi DPR tak banyak menindaklanjuti itu dalam rapat-rapat dengan mitra mereka, artinya fungsi pengawasan DPR sesungguhnya hanya formalitas saja," nilai Lucius.

Sementara dalam fungsi anggaran, dalam banyak hal DPR dipandang belum mampu menerjemahkan politik anggaran untuk kepentingan rakyat.

Semestinya pidato kenegaraan ini merupakan refleksi tuntas soal harapan-harapan dan capaian-capaian lembaga-lembaga negara bahwa kinerja itu pasti selalu ada positif dan negatifnya.

"Refleksi yang sesungguhnya bukan hanya menyebutkan keberhasilan-keberhasilan, tetapi yang paling penting justru menemukan titik-titik kegagalan yang harus dijadikan landasan untuk menyusun program selanjutnya menuju perubahan yang sesungguhnya," tuturnya.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement